Pesona.
Aku tidak memilikinya. Sudahlah, aku sudah terlalu berusaha. Tidak akan ada
seorangpun yang mendeskripsikanku sebagai sebuah pesona.
“Pia.”
Suara
itu memanggilku lembut, getarannya bermain naik dan turun dalam sistem
pendengaranku. Debaran keras mengiringi harmoni tersebut dan menjadikan badanku
sebuah alunan penuh dentuman.
Ia
menatapku hangat. Aku membalasnya. Sebuah percakapan tanpa kata-kata yang hanya
melibatkan kami berdua terjadi di tengah keramaian ruang tersebut.
Aku
menunduk malu, ronaku bersemu samar.
“Bolehkah
aku meminjam tulisanmu?”
Semua
yang ada dalam dirinya mengalahkan keraguanku. Buku mungil tersebut kuserahkan
dalam genggamannya, biarlah untaian kata demi kata tersebut yang mewakili
diriku bercerita untuknya.
**
Pagi
ini gerimis. Dingin dan sejuk, kulitku menyukai sensasinya. Aroma tanah basah
kian menyelimutiku dengan kenyamanan tak terdefinisikan. Aku suka hujan dan aku
suka gerimis. Aku harus pergi, taman itu menungguku.
Bukan,
bukan hanya taman.
Orang
itu menungguku.
**
‘Bagaimana,
Rio?’ aku bertanya lirih. ‘Ceritaku
tidak menarik, bukan?’
Orang
itu duduk seolah tak ada hal apapun yang dapat membebaninya, ia tersenyum
kepadaku. Sungguh, matanya bersinar seterang bulan. “Aku sangat menyukai
idenya, Pia.” pria berbibir mungil tersebut berbicara sembari masih mengamati
lembaran kertas didepannya. “Tolong kau lanjutkan, aku akan menunggu kisah
setelahnya.”
Jawabannya
singkat namun berputar-putar tanpa akhir dalam pikiranku. “Tentu saja!’ aku
tersenyum kecil. “ Aku akan melanjutkannya!”
Rio
mengulurkan jemari terkecilnya dan secara spontan aku mengaitkan milikku
kepadanya. Waktu dan ruang seolah kami berhentikan saat itu. “Pertemuan kelima
kita akan berlanjut disini lagi, oke?”. Aku mengangguk pasti.
Lagi-lagi,
aku melewati hari demi hari menantikan Sabtu, hari terjadinya pertemuan rutin
kami, yang akan datang. Aku tidak peduli waktu memperlambat pertemuan kami
karena penantianlah yang menjadi sensasi dari percakapan dengan dan tanpa kata
kami.
**
Kutidak
tahu bagaimana kami bisa terikat tanpa ikatan seperti ini. Aku hanyalah seorang
gadis muda tanpa pesona yang menganggap ‘teduh’ sebagai teman. Ia mengerti dan
memayungi sosokku dari tekanan-tekanan di luar sana. Taman berlari di dekat
rumahku merupakan tempat mediasi antara aku dan ‘teduh’.
Secara
lebih konkret, ‘aku’ dan ‘teduh’ yang kumaksudkan adalah ‘Pia’ dan ‘Aroma
Hujan’. Tak lupa, buku tulis mungil bersampulkan kelap-kelip keemasan menemani
jemariku mengutarakan kisahnya. Ia membantu mengutarakan perasaan dan pikiranku
yang berada di suatu-tempat-entah-dimana.
Hujan
adalah temanku. Bukuku adalah kawanku, dan kelima jariku berkoordinasi bersama
saat bercakap dengan semua sahabat-sahabatku tersebut. Semua berjalan biasa
saja dan penuh kepastian yang menjemukkan, sampai hinggaplah sebuah sosok
dihatiku.
Ia
menyukai ‘teduh’, ia menyukai ‘hujan’ dan ia menyukai kisah-kisah tak tergapai
oleh logika dan analisa. Menempatkan dirinya disampingku diatas bangku kayu
mungil yang terlihat tua, kami saling bercerita.
Ia
benci kebanggaan manusia terhadap ilmu, begitupun aku. Rio, nama pria yang
berusia sebaya denganku tersebut, juga tidak menyukai ‘kepastian’. Melihat
sosok gagah dan tingginya, aku merasa mencerminkan diriku. Bukan, bukan diriku
yang diketahui orang-orang.
Aku
bertemu dengannya satu bulan yang lalu. Pertemuan pertama kali cukup
menyenangkan dan aku sangat menikmati percakapan dengan dan tanpa kata dengan
mata indahnya. Hari itu adalah hari ‘kepastian’ memudar.
**
Aku
menunggunya. Sore itu memang tidak bau hujan, namun aku tidak
mempermasalahkannya. Jaket rajut abu-abu yang kukenakan akhirnya kulepaskan
juga. Lelah. Ratusan menit telah berlalu tanpa tanda-tanda.
Rio,
kamu jahat. Kalau kamu terlambat ataupun membatalkanku untuk bertemumu,
berikanlah jejak dan petunjuk. Aku tidak suka.
Sekelilingku
ramai. Seorang anak yang tertawa menikmati berkejar-kejaran dengan kawannya,
seorang ibu berjalan perlahan dengan anjing berbulu pendeknya. Pohon-pohon yang
tadinya teduh kini terlihat dingin oleh persepsiku.
Aku
tidak sendiri,tapi aku adalah aku yang sendirian. Aku juga adalah aku yang
biasa, aku yang tidak memiliki pesona. Apa dayaku jika orang-orang disekitarku
tidak memahami eksistensiku. Tidak, aku tidak mengekspektasikan apa-apa. “Halo,
teduhku.”
Rio
muncul dengan jaket rajut yang sama berwarna biru muda dan menempatkan dirinya
disebelahku. Kami konsisten menduduki bangku kayu yang terlihat tua ini. “Maafkan
aku yang terlambat.”
“Teduhmu?”
aku bertanya dalam kebingungan. “Betulkah?”. Ia tidak menjawab pertanyaan
tersebut, namun mengisyaratkanku untuk mengeluarkan buku tulis mungil bersampul
keemasanku. Tanpa banyak bertanya aku mengikuti instruksinya, tak kuasa aku
melawan magnet yang menarikku.
“Kali
ini, aku bercerita tentang matahari.” Ucapku lirih. “Kamu tidak bosan
mendengarkan kisah tidak masuk akalku?”. Pria berambut cepak tersebut lagi-lagi
tidak berucap, namun pancaran matanya sudah cukup memberi aku jawaban. Inilah
percakapan tanpa kata yang memang hanya bisa dimengerti oleh kami berdua.
“Matahari,
ia bersinar terang dan mencolok.
Bagaimana tidak, ia hanya satu dan tidak memiliki rival.” Aku mulai berkisah.
“Seluruh dunia mengagumi sosoknya. Semua orang menantikan kehadiran sang
mentari; setiap hari.”
“Bagaimana
kau bisa berkata kehadirannya ditunggu banyak orang?” Rio merespon, ia
melayangkan pandangannya ke atas dan terlihat berpikir keras. Aku pun mengikuti
arah pandangannya. “Bunga matahari dapat berdiri kokoh karena matahari. Manusia
bisa riang bermain dengan kesejukkan juga karena mengetahui tentang panas.”
“Baiklah
kalau memang itu pendapatmu.” Rio tersenyum kecil. “Jadi kisah tentang matahari
ini melanjuti kisah tentang dingin, betul?”. “Kurasa begitu.” Ujarku
membenarkan kacamataku yang merosot. “Mungkin, kita tidak perlu apapun lagi
kalau ada sang matahari tersebut.”
“Bukankah
kau menyukai ‘teduh’?” Rio menggelengkan kepalanya dan menatapku. “Aku tidak
setuju mengenai kesimpulan mataharimu.”. Aku pun terdiam sejenak. “Kau tahu,
Rio? Teduh memang menyenangkan, namun tidak semua orang memerlukan teduh. Untuk
apa merasa nyaman kalau menggebu-gebu itu lebih indah?”. “Segala sesuatu yang
berlebihan itu tidak baik.” Ujarnya. “Dan matahari itu memiliki kepastian untuk
muncul setiap harinya. Sementara, setahuku kau tidak suka kepastian.”. “Bagaimana
pendapatmu, Rio?” Aku mendekatkan diriku padanya dan menunggu ceritanya. “Begini,
kau tahu mengenai bulan?”
Sosok
bulan yang bulatpun muncul dalam bayanganku. Bulan jauh dan tidak mencolok.
Kehadirannya tidak disadari dan tidak juga terlalu dinantikan. “Ia teduh. Ia
memang bersinar dan membutuhkan matahari untuk bersinar, namun ia tidak garang
dalam tindakan berpancarnya.” Rio menggerakan tangannya dengan semangat sembari
terus berbicara. “Bagian paling menariknya, bulan tidak memiliki kepastian.
Terkadang ia bulan, terkadang ia setengah dan terkadang ia tidak timbul sama
sekali.”
“Sama
seperti aku, Rio.” Ujarku tanpa berpikir panjang. “Aku adalah orang yang tidak
memiliki kepastian. Mungkinkah karena itulah keramaian disekitar tidak
menyadariku?” Langit pun semakin gelap dan matahari mulai menyembunyikan
sosoknya. Kombinasi merah dan abu-abu sang cakrawala menemani dua insan di
bangku mungil tersebut. Indah, matahari yang berusaha bersembunyi itu
sebetulnya indah.
“Bulan
yang teduh, tidak disadari orang dan tidak memiliki kepastian adalah bulan yang
aku sukai.” Ujarnya tiba-tiba sambil menggenggam erat tanganku. “Bulan yang
memiliki cahaya minim tidak pernah menyakiti orang. Ia bersinar dengan caranya
sendiri, ia tidak mengharapkan bintang-bintang menemaninya.”. Kali ini
jantungku seperti mau meloncat keluar sungguhan.
“Bulan
yang kini berada dihadapanku cantik. Ia pandai menulis, ia tidak menyukai
kepastian namun ia tetap menunggu bintang yang terlambat menemaninya. Ia juga
teduh dan tidak akan menyakiti siapapun dengan sinar pesonanya yang lembut.”. Pesona?
“Rio,
maksudmu aku memesona?” Aku gelagapan. Tanpa kusadari, bicaraku mulai tergagap
dan mataku mulai merah. Pikiranku sedikit kusut. “Kau lihat matahari yang
berusaha bersembunyi saat ini, Pia?” tanyanya sambil menunjuk ke atas yang
tidak memiliki batas. “Lihatlah caranya untuk menghadirkan bulan. Langit merah
keemasan ini, semua untuk menyambut bulan.”. Air mataku mulai menitik.
“Pia,
aku ingin kamu tahu kalau kamu memiliki pesona. Kamu adalah sang bulan. Aku
adalah sang bintang yang kecil yang berusaha menemanimu di langit gelap sana.”
Ujar Rio yang kini juga mulai terlihat gugup. “Aku ingin menjadi kekasihmu,
Pia.”
Setelah
percakapan itu, aku pulang; kembali ke kamar mungilku lengkap dengan selimut
bermotif beruang coklatnya dan berharap semua yang terjadi hari ini bukanlah
mimpi. Kalaupun ini hanya bunga tidur belaka, aku tidak ingin seorangpun
membangunkanku. Ia memintaku sebuah kepastian. Sabtu depan, hari yang biasanya
aku tunggu-tunggu, kini menjadi hari yang ingin kuhindari.
Pesona.
Hal yang tadinya tidak ada dalam diriku, namun terpancar dengan caranya
sendiri. Dibandingkan sang bintang, sang bulan lebih terlihat dengan ukurannya
yang besar. Bulan yang memesona.
Aku
bernama Pia. Menurut seseorang, aku seperti bulan. Satu hal yang kuhilangkan
dari daftar ketidaksukaanku adalah ‘kepastian’. Bukankah itu tujuannya
diciptakan teleskop?
Ia
mencari sebuah kepastian dari benda-benda di langit dan bulan termasuk
diantaranya. Sama seperti usaha sebuah teleskop, aku pun berusaha mengakrabkan
diri dengan sang kepastian.
Bintang,
kepastian memang belum akan datang hingga Sabtu depan. Namun tunggulah, bulan
akan berusaha hadir untukmu. Bulan ingin bersinar dengan caranya sendiri
ditemani oleh bintang. Sebuah bintang kecil yang menganggap besar sebuah bulan
kecil.
Biarkan
kita menanti melewati waktu yang memisahkan kita ini. Untuk mencapai bentuk
purnama sempurna, bulan memang membutuhkan waktu yang tepat.
Aku
adalah Pia. Menurut aku sendiri dan juga kebanyakan orang, aku tidak memiliki pesona.
Aku adalah bulan. Bagi sang bintang, bulan berukuran jauh lebih besar dan
menjadi luar biasa dengan pesonanya.
Tunggu
aku di bangku mungil kayu yang terlihat tua itu untuk sebuah kepastian yang
tetap akan kuberikan walaupun kau mungkin tidak menyukainya.
Comments
Post a Comment