Mungkin aku selalu terlihat tegar; senyuman dan tawaku
seringkali mengecoh. Aku yang sesungguhnya bukanlah aku yang mereka lihat. Teman,
kerabat, tetangga, mereka semua tertipu. Hanya satu individu yang mengetahui
kedilemaan hatiku.
“Kamu
kenapa?” beliau menyiapkan sebuah susu coklat untukku; rambutnya yang telah
memutih di ikat konde dengan apik.
Aku
menunduk dan menikmati kesunyian di warung mungil langgananku tersebut. “Tidak apa-apa,
Nek.”
Nek
Inah memposisikan dirinya disebelahku, ia tahu betul ada yang salah dariku. Perempuan anggun ini tidak berubah semenjak aku kecil; tetap ramah dan baik hati.
“Pasti
Dio lagi yah. Mahasiswa berpacaran zaman sekarang memang selalu berliku-liku.”
Aku
merasa kacau, kejadian di chat kemarin
sangatlah miris. Ketidakpercayaannya padaku, membuatku merasa sakit; tidak berguna.
Kamu tidak mengabariku, Via
Aku
memang salah. Diriku yang terlalu sibuk pada tugas kuliah arsitektur ini
melupakan kehidupanku. Aku tidak menceritakan kegelisahanku pada pujaan yang
telah mengaitkan kailnya pada hatiku.
Apakah hubungan jarak jauh ini memang tidak bisa kita
jalani?
Mengapa
kamu tidak percaya kepadaku, Vio? Apakah kamu mau ikut menambah diriku yang
sudah tertekan ini?
Tetes
demi tetes air mataku jatuh; aku tak sekuat itu. Batu karang yang kokoh itu
akan retak juga pada akhirnya.
Nek Inah, salah satu sumber kekuatanku, mendekapku hangat. Beliau tidak segan terhadapku dan begitu pula sebaliknya. Mungkinkah kami sesungguhnya sepasang sahabat yang memiliki perbedaan usia?
Apakah sahabat dibatasi oleh umur? Jika kau tanya diriku, dengan tegas akan kujawab 'tidak'.
Apakah sahabat dibatasi oleh umur? Jika kau tanya diriku, dengan tegas akan kujawab 'tidak'.
“Nenek tidak tahu masalah kalian. Tetapi
bukankah cinta itu memang selalu harus diperjuangkan bagaimanapun kendalanya?
Apapun ketidakcocokan yang akan muncul, bukankah itu merupakan suatu rintangan
yang harus dihadapi dengan berani?”
Badanku bergetar,
hatiku ternyata tak bisa lagi bersandiwara. Sudah cukup aku mendustai diriku sendiri. Apakah ‘menyerah’ memang jalan yang
terbaik untuk kedua belah pihak?
“Nak Via.
Nenek kangen melihat kalian berdua akur dan bersuap-suapan di warung ini.
Walaupun itu terjadi saat kalian masih SMA dulu, namun Nenek percaya hal itu
masih akan terjadi.” beliau mengusap punggungku. "Janganlah berhenti karena halangan apapun."
Jarak.
Sesuatu yang memisahkan raga kami.
“Aku
takut, Nek. Aku khawatir.”
Aku merasa dunia sekitar sangat gelap dan suram. Mengapa matahari yang terik terlihat sebagai sebuah petir yang menggelegar?
Aku merasa dunia sekitar sangat gelap dan suram. Mengapa matahari yang terik terlihat sebagai sebuah petir yang menggelegar?
“Jika kau
memang pasangan hidup Dio, semua akan dipermudah untukmu.” Wanita berwibawa
yang masih tegak dikepala enam puluh itu tersenyum manis. “Tuhan ingin melihat seberapa kuatnya kalian
saling mempertahankan.”
“Aku akan
bertahan. Mungkin..”
Tepukan
lembut dipundak kurasakan mengusap dengan lembut. Aku menoleh kebelakang dan terbelalak.
Jantungku serasa berhenti berdetak saat itu juga.
Dia. Tatapannya. Dirinya.
Dia. Tatapannya. Dirinya.
“Via, aku
tidak tahan lagi..”
“Untuk
memutuskanku?” aku tersenyum sinis, walaupun aku tidak bermaksud demikian. "Untuk mencampakkanku?"
“Jangan
putuskan kalimatku!” Ia menghentak dan mengangkat wajahku sehingga mata kami
bertemu; kemarahan terlihat dari raut wajahnya. “Aku rela kembali kesini karena ingin bertemu denganmu!”
Sedih,
aku sedih saat dia tak yakin kepadaku. Semua kepahitan yang kurasakan memuncak dalam batin, dan gejolak ini kembali membuatku bersedih.
“Via.
Jalan berliku tak akan buatku menyerah. Tatap mataku dan kau akan tahu semua
yang kurasakan.”
Sering
sekali ia mencoba mematikan hatiku secara tidak langsung.
“Aku
menyayangimu, Via. Aku menggila karena kau tidak mengabariku selama seminggu
dan sekarang aku disini untuk melihatmu. Untuk bersamamu.”
Aku terbisu.
“Maafkan
diriku yang emosional.” Ia mengenggam erat telapakku. Kehangatan yang ingin
kurasakan setelah semua sandiwara kekuatanku.
Jangan keraskan hati, Via. Aku harus membuka pintu untuknya dan untukku.
Jangan keraskan hati, Via. Aku harus membuka pintu untuknya dan untukku.
“Aku akan
berusaha mengubah diri yang bisa gila rindu karenamu, Via.”
Aku
menggeleng dan tertawa pelan.
“Tidak. Tetaplah
jadi Dio yang butuh kabarku. Tetaplah jadi Dio yang manja dan tengil.”
Nek Inah
menghampiri kami dengan sebuah lilin mungil, beliau mengedipkan sebelah
matanya.
Aku tidak
tahu akan kuat atau tidak dengan kekurangannya, namun aku sayang dirinya dengan
segala ‘paket’ plus minusnya.
Hanya hal itulah yang kutahu, dan aku akan bertahan. Sekalipun keraguan dan ketakutan melingkupi
diriku dan dirinya; aku tidak akan goyah karena kuyakin.
Aku yakin pada diriku, dan aku juga yakin pada dirinya.
Aku yakin pada diriku, dan aku juga yakin pada dirinya.
Comments
Post a Comment