Skip to main content

Aku Bertahan Karena Kuyakin


Mungkin aku selalu terlihat tegar; senyuman dan tawaku seringkali mengecoh. Aku yang sesungguhnya bukanlah aku yang mereka lihat. Teman, kerabat, tetangga, mereka semua tertipu. Hanya satu individu yang mengetahui kedilemaan hatiku.

“Kamu kenapa?” beliau menyiapkan sebuah susu coklat untukku; rambutnya yang telah memutih di ikat konde dengan apik.

Aku menunduk dan menikmati kesunyian di warung mungil langgananku tersebut. “Tidak apa-apa, Nek.”

Nek Inah memposisikan dirinya disebelahku, ia tahu betul ada yang salah dariku. Perempuan anggun ini tidak berubah semenjak aku kecil; tetap ramah dan baik hati.

“Pasti Dio lagi yah. Mahasiswa berpacaran zaman sekarang memang selalu berliku-liku.”

Aku merasa kacau, kejadian di chat kemarin sangatlah miris. Ketidakpercayaannya padaku, membuatku merasa sakit; tidak berguna.

Kamu tidak mengabariku, Via

Aku memang salah. Diriku yang terlalu sibuk pada tugas kuliah arsitektur ini melupakan kehidupanku. Aku tidak menceritakan kegelisahanku pada pujaan yang telah mengaitkan kailnya pada hatiku.

Apakah hubungan jarak jauh ini memang tidak bisa kita jalani?

Mengapa kamu tidak percaya kepadaku, Vio? Apakah kamu mau ikut menambah diriku yang sudah tertekan ini?

Tetes demi tetes air mataku jatuh; aku tak sekuat itu. Batu karang yang kokoh itu akan retak juga pada akhirnya.

Nek Inah, salah satu sumber kekuatanku, mendekapku hangat. Beliau tidak segan terhadapku dan begitu pula sebaliknya. Mungkinkah kami sesungguhnya sepasang sahabat yang memiliki perbedaan usia?

Apakah sahabat dibatasi oleh umur? Jika kau tanya diriku, dengan tegas akan kujawab 'tidak'.

 “Nenek tidak tahu masalah kalian. Tetapi bukankah cinta itu memang selalu harus diperjuangkan bagaimanapun kendalanya? Apapun ketidakcocokan yang akan muncul, bukankah itu merupakan suatu rintangan yang harus dihadapi dengan berani?”

Badanku bergetar, hatiku ternyata tak bisa lagi bersandiwara. Sudah cukup aku mendustai diriku sendiri. Apakah ‘menyerah’ memang jalan yang terbaik untuk kedua belah pihak?

“Nak Via. Nenek kangen melihat kalian berdua akur dan bersuap-suapan di warung ini. Walaupun itu terjadi saat kalian masih SMA dulu, namun Nenek percaya hal itu masih akan terjadi.” beliau mengusap punggungku. "Janganlah berhenti karena halangan apapun."

Jarak. Sesuatu yang memisahkan raga kami.

“Aku takut, Nek. Aku khawatir.”

Aku merasa dunia sekitar sangat gelap dan suram. Mengapa matahari yang terik terlihat sebagai sebuah petir yang menggelegar?

“Jika kau memang pasangan hidup Dio, semua akan dipermudah untukmu.” Wanita berwibawa yang masih tegak dikepala enam puluh itu tersenyum manis. “Tuhan ingin melihat seberapa kuatnya kalian saling mempertahankan.”

“Aku akan bertahan. Mungkin..”

Tepukan lembut dipundak kurasakan mengusap dengan lembut. Aku menoleh kebelakang dan terbelalak. Jantungku serasa berhenti berdetak saat itu juga.

Dia. Tatapannya. Dirinya.

“Via, aku tidak tahan lagi..”

“Untuk memutuskanku?” aku tersenyum sinis, walaupun aku tidak bermaksud demikian. "Untuk mencampakkanku?"

“Jangan putuskan kalimatku!” Ia menghentak dan mengangkat wajahku sehingga mata kami bertemu; kemarahan terlihat dari raut wajahnya. “Aku rela kembali kesini karena ingin bertemu denganmu!”

Sedih, aku sedih saat dia tak yakin kepadaku. Semua kepahitan yang kurasakan memuncak dalam batin, dan gejolak ini kembali membuatku bersedih.

“Via. Jalan berliku tak akan buatku menyerah. Tatap mataku dan kau akan tahu semua yang kurasakan.”

Sering sekali ia mencoba mematikan hatiku secara tidak langsung.

“Aku menyayangimu, Via. Aku menggila karena kau tidak mengabariku selama seminggu dan sekarang aku disini untuk melihatmu. Untuk bersamamu.”

Aku terbisu.

“Maafkan diriku yang emosional.” Ia mengenggam erat telapakku. Kehangatan yang ingin kurasakan setelah semua sandiwara kekuatanku.

Jangan keraskan hati, Via. Aku harus membuka pintu untuknya dan untukku.

“Aku akan berusaha mengubah diri yang bisa gila rindu karenamu, Via.”

Aku menggeleng dan tertawa pelan.

“Tidak. Tetaplah jadi Dio yang butuh kabarku. Tetaplah jadi Dio yang manja dan tengil.”

Nek Inah menghampiri kami dengan sebuah lilin mungil, beliau mengedipkan sebelah matanya.

Aku tidak tahu akan kuat atau tidak dengan kekurangannya, namun aku sayang dirinya dengan segala ‘paket’ plus minusnya.

Hanya hal itulah yang kutahu, dan aku akan bertahan. Sekalipun keraguan dan ketakutan melingkupi diriku dan dirinya; aku tidak akan goyah karena kuyakin.

Aku yakin pada diriku, dan aku juga yakin pada dirinya. 

Comments

Popular posts from this blog

Manado, kota yang penuh kesan

Haloo, jadi sebetulnya ini adalah tulisan yang tertunda. Aku tidak bisa menuliskan trip secara detail karena aku sempat malas menulis dan kini saat berhasil mendapatkan mood , aku malah lupa-lupa ingat. :") Maafkan saya. Aku sempat mengunjungi Manado beberapa waktu yang lalu (secara mendadak dan menyenangkan) dan akan mengulasnya sebisaku pada tulisan ini. C heck these points out ! 1. Kita dapat dengan mudah melihat keindahan laut dan pegunungan di kota Manado Pemandangan unik kombinasi laut dan gunung di Manado. Pegunungan ini terlihat dari sebuah pantai. Pantainya sendiri saja sudah indah, bagaimana kalau dikombinasi dengan view gunung? Mantap! Hati jadi ikutan adem. Indah sekali, bukan? Aku menginap di sebuah hotel yang ternyata memiliki pantai. Tempat tersebut sangat indah untuk berfoto-foto, tak lupa aku pun numpang eksis di sana. Maklumlah, mumpung background fotonya keren. I heart you. 2. Di kota Manado banyak spot indah untuk berfoto dengan m

Kemari, Kamu Harus Kemari

Selamat datang di dunia Pergi, aku melangkah pergi Arahkan kakiku Menuju sesuatu yang belum kuketahui Terkadang yang manis terasa pahit Antara itu memang pahit sepahit-pahitnya Atau lidah kamu yang memaksanya menjadi pahit Jangan, sayang. Aku bisa menjadi diriku, dan kamu tetap menjadi dirimu. Aku tidak perlu menjadi kamu, dan kamu tidak perlu menjadi diriku. Aku hebat, begitupun kamu. Aku kuat, begitupun kamu. Bibirku bersenandung, begitupun bibirmu. Kakiku menari, begitupun kakimu. Telingaku menikmati irama dalam harmoni, begitupun telingamu. Mataku terpejam beristirahat, begitupun matamu. Manis, semua manis. Antara itu memang manis semanis-manisnya. Atau lidah kamu yang memaksanya menjadi manis. Lanjutkanlah, sayang. Kamu bisa menjadi dirimu, dan aku tetaplah aku. Kamu tidak perlu menjadi aku, dan aku tidak perlu menjadi dirimu. Kamu hebat, begitupun aku. Kamu kuat, begitupun aku. Jangan berhenti bersenandung. Jangan berhenti menari. Jangan berhent

Untitled (unfinished story)

*TIDAK SELESAI DAN MENGGANTUNG :")* ditulis 11 Maret 2013 Aku merasakan matahari yang mulai menampakan sinarnya melalui celah jendela kamarku. Burung-burung berkicau seolah-olah mereka tengah berusaha membangunkanku. Dari kejauhan terdengar suara ayam yang berkokok, menandakan pagi yang telah tiba. Aku mendesah pelan. Hari yang baru telah menunggu untuk kuhadapi. Namun entah mengapa rasanya berat sekali untuk membuka kembali kedua mataku. Rasanya aku ingin tidur selamanya saja. Aku sesungguhnya tidak ingin terbangun lagi. “Kak Mit.” Seseorang memanggilku ketika aku tengah berusaha melanjutkan mimpiku. Kurasakan sepasang tangan mungil menguncang-guncang tubuh yang masih dilapisi selimutku. Aku diam dan tak bergeming. “Kak Mit!” suara tersebut mengeyel. Uh, mengganggu saja. Aku masih ngantuk tahu. “KAK MITA!” kali ini ia menjerit dengan volume melewati batas maksimal tepat disebelah telingaku. Aku pun spontan membuka mataku lebar-lebar dan melotot ke arah su