#iseng
_____
Bayangan di cermin menatapku sengit. Rambut berantakan yang mulai panjang itu terlihat aneh dan jelek, sementara wajah itu terlihat muak. Bibirnya mencibir hebat saat aku memberanikan diri meliriknya. Sst, desisnya.
Ia kini mulai menyisir secara kasar rambutnya yang tidak pernah mau menurut. Lagi-lagi, ia mengoceh sendiri dan mendumel tanpa ada yang mendengarkan. Piyama abu-abu tersebut terlihat kebesaran dan memakan sosok tingginya. Aku berusaha menatapnya ramah, namun tetap saja ia terlihat rese di mataku.
Anak di hadapanku itu menaruh sisirnya, dan berhenti mengoceh. Kami saling menatap dan aku tahu segala isi pikirannya. Tadi pagi, ia berniat melaksanakan rencana besarnya. Ia menyembunyikannya dan belum mau memberi tahu orang-orang terdekatnya. Tekad sebulat matahari untuk memberi tahu dan meminta saran atas rencananya dihilangkan total setelah ia dikatakan tidak berguna.
Ia pun ingin berkata, aku ya aku. Dia ya dia. Pikirnya, orang lain memang lebih berguna darinya sekarang, namun hal tersebut janganlah dibandingkan dan ditertawakan. Rasanya capek berusaha terus tapi tidak pernah cukup. Setiap hari ia merasa gusar. Aku tahu itu dari tatapan matanya.
Anak itu menjauh dariku. Saat kusadari, ternyata aku pun sudah berpaling dari cermin. Waktu ternyata terus berjalan di ruangan tidur yang kecil malam itu. Hmm, mungkin kami akan bercakap-cakap kembali lain kali. Atau sebaiknya tidak?
_____
Bayangan di cermin menatapku sengit. Rambut berantakan yang mulai panjang itu terlihat aneh dan jelek, sementara wajah itu terlihat muak. Bibirnya mencibir hebat saat aku memberanikan diri meliriknya. Sst, desisnya.
Ia kini mulai menyisir secara kasar rambutnya yang tidak pernah mau menurut. Lagi-lagi, ia mengoceh sendiri dan mendumel tanpa ada yang mendengarkan. Piyama abu-abu tersebut terlihat kebesaran dan memakan sosok tingginya. Aku berusaha menatapnya ramah, namun tetap saja ia terlihat rese di mataku.
Anak di hadapanku itu menaruh sisirnya, dan berhenti mengoceh. Kami saling menatap dan aku tahu segala isi pikirannya. Tadi pagi, ia berniat melaksanakan rencana besarnya. Ia menyembunyikannya dan belum mau memberi tahu orang-orang terdekatnya. Tekad sebulat matahari untuk memberi tahu dan meminta saran atas rencananya dihilangkan total setelah ia dikatakan tidak berguna.
Ia pun ingin berkata, aku ya aku. Dia ya dia. Pikirnya, orang lain memang lebih berguna darinya sekarang, namun hal tersebut janganlah dibandingkan dan ditertawakan. Rasanya capek berusaha terus tapi tidak pernah cukup. Setiap hari ia merasa gusar. Aku tahu itu dari tatapan matanya.
Anak itu menjauh dariku. Saat kusadari, ternyata aku pun sudah berpaling dari cermin. Waktu ternyata terus berjalan di ruangan tidur yang kecil malam itu. Hmm, mungkin kami akan bercakap-cakap kembali lain kali. Atau sebaiknya tidak?
Comments
Post a Comment