Skip to main content

Si Mungil

Udara yang sejuk menemani kesendirianku di taman kampus yang katanya suram tersebut. Sesungguhnya, aku betul-betul tidak ingin kembali ke rumah neraka.

kak Lina.. kau ingat Si Mungil, pohon pisang yang kita tanam bersama saat itu?  ia kini sudah bertumbuh dan lebih kuat. Ia mirip denganmu.

"Di?" sebuah suara nan lembut yang jarang kudengar mengembalikanku ke dunia nyata. Sosok berbahu lebar ini menghampiri dan menyejajarkan pandangan matanya denganku. Tubuh tingginya sedikit menunduk. "lo lagi ngapain disini sendirian?

"eh, van.." jawabku terbata-bata. "nggak apa-apa.. gue…"

"Lo masih kepikiran soal Kak Lina, ya..." cowok berambut gondrong tersebut akhirnya ikut terduduk disebelahku. ia melepaskan tas selempang hitam andalannya setiap hari dan menatap ke arah langit yang sudah semakin memerah.

"Hmmm.. gue mikirin skripsi gue yang ditolak juga.. gue sudah capek." ujarku sembari tertunduk sendu. Semua kejadian yang terjadi beberapa minggu terakhir ini berlangsung dengan begitu cepat, seolah-olah tidak nyata. Bagaikan mimpi.

"gue nggak akan beranjak dari sini sebelom Diana yang gue kenal tersenyum kembali." Evan menatapku lama, dan ia pun memberikan cengiran manis yang tidak pernah ditampilkannya. "Gue cuman mau bilang... lo nggak sendirian."

Untuk beberapa saat, aku merasakan keheningan yang menyenangkan. Evan, si mahasiswa kutu buku yang jarang dikenali orang-orang, ternyata adalah satu dari sedikit orang yang masih menemaniku pada saat-saat terburuk. Ia memiliki sisi luar biasa yang disembunyikannya dari orang-orang.

"Di, lo harus tahu kalo Kak Lina bangga dengan lo." Bisiknya perlahan di dekat wajahku. "Lo udah dianggap adik sendiri sama dia.."

"Gue bingung.. kenapa dia pergi sebelom gue bisa ngebanggain dia? Gue pengen dia ngelihat gue wisuda, Van.. gue mau ngebuktiin kalo usaha dan kepercayaan dia sama gue nggak sia-sia." Ucapku dengan suara bergetar. Sial, air mata kini sudah tidak mau berkoordinasi dengan otakku. satu demi satu tetes mulai mengalir dengan derasnya.

"Lo ingat hari pertama lo ikut bimbingan belajar kita? Lo bandel banget.. saat itu lo bilang lo nggak peduli masalah kuliah lo. Lo bahkan nggak mau ikut pertemuan sampe selese, Di.." Evan berucap sembari mengorbankan pundak kanan dan kaos oblong berwarna abu-abu tua yang dikenakannya untuk menampung semua air mata tidak tahu diriku.

"Hehe, tentu saja gue inget.." aku berusaha tertawa kecil di sela-sela tangis yang semakin tidak bisa kuredakan. Evan menatapku jahil. "Saat itu, gue melihat lo sebagai cewek yang sangat keras kepala. Yah, kalo lo nggak keras kepala, lo pasti udah ikut kelas kami tersebut tanpa harus dipaksa-paksa Pak Kepsek.."

"Haha.." aku tidak bisa menahan tawa akibat ucapannya; ungkapan bahagiaku yang pertama untuk beberapa waktu terakhir ini.

Wajah jahil Evan kini berubah drastis. "Kak Lina tidak melihat keras kepalanya lo waktu itu, Di.. ia melihat lo sebagai sebuah pohon rindang yang akan subur apabila dirawat dengan baik.'

Aku pun mengingat saat-saat bimbingan belajar kami bersama-sama menanam sebuah pohon pisang di taman kampus yang jarang dikunjungi orang ini. Kak Lina-lah pencetus idenya.

Saat itu, ia sebagai alumni dari jurusan kami menjelaskan kepada kami untuk lebih serius dan bertanggung jawab dalam urusan pendidikan kami. Wanita berkacamata itu juga berpesan pada adik-adik yang dibimbingnya untk bermimpi dan bercita-cita setinggi mungkin. "Walaupun hasilnya tidak akan terlihat dalam waktu cepat seperti Si Mungil ini, kita akan merasakan buahnya suatu saat nanti."

Semua nasihat-nasihat bijak dari Kak Lina sama sekali tidak kugubris. Aku tetap dengan pendirianku untuk tidak kuliah demi memenuhi gengsi dan kepuasan orang tua tiriku yang sok kaya tersebut.

Semua berjalan bagaikan roda yang berputar hingga tiba saatnya kami menerima kabar duka yang mendadak itu. Aku, Evan, dan beberapa anak lainnya di angkatan kami tercengang mengetahui Kak Lina yang tiba-tiba sudah meninggal dunia akibat penyakit kanker yang ternyata sudah lama menyiksanya tersebut. Semua hal tersebut bagaikan cerita dongeng tragis. Dan disinilah aku, meratap.. Mengasihani diri.

"Gue yakin lo pasti ngerti gimana cara terbaik untuk menghilangkan penyesalan lo saat ini.." suara lembut Evan lagi-lagi memecahkan lamunanku yang sudah kemana-mana. "Kita coba perbaikin bareng bab 1 lo, yuk?"

Ucapan Evan barusan membuatku tersadar bahwa Kak Lina memang tidak akan senang apabila aku terus berdiam diri di sini.

"Van.. nanti malem gue chat lo, ya.. gue mau minta saran.." Aku bangkit berdiri dan menghapus sisa-sisa air mata yang masih sedikit mengalir. Tanpa ragu-ragu, Evan ikut berdiri dan menarik tanganku lembut. Ia menarikku menuju pohon pisang yang sudah sedikit berkuncup tersebut."Yuk, kita perbaiki semuanya.."

Comments

Popular posts from this blog

Belajar banyak di konferensi Psikologi ARUPS, Bali

Halo teman-teman, Kali ini aku menggebu-gebu sekali untuk menceritakan pengalamanku di Bali. Sungguh, sampai detik ini aku masih merasa bahagia dan bangga akan acara yang telah aku ikuti pada 21-22 Februari 2018 waktu itu! Jadi, awal mulanya seperti ini... Once upon a time , pada 2016 akhir, seorang dosen di kampusku menawarkan aku dan temanku (Desta) untuk ikut berkontribusi dalam penelitian beliau. Oh ya, untuk kalian yang belum tahu, aku sedang mengambil jurusan psikologi di Universitas Tarumanagara, ya. Aku sempat takut sih, karena belum pernah mengerjakan proyek seperti ini. Waktu itu, aku betul-betul khawatir karena pengalamanku dalam penelitian betul-betul nol besar. Namun, dosenku, Pak P. Tommy Y. S. Suyasa (beliau akrab dengan panggilan Pak Tommy), berbaik hati dan bersedia membimbing dari awal, beliau pun sabar menjelaskan pada kami apabila ada hal-hal yang masih kami belum pahami. Oh ya, kami belajar banyak dari dosen kami ini; hal-hal aka...

Pejuang!

Hai teman-teman! Di post kali ini, aku ingin sedikit membuka diri dan mudah-mudahan apa yang kubagikan bisa bermanfaat untuk teman-teman :) Siapa sih yang disini nggak pernah merasa minder? Rendah diri? Teman-teman, aku percaya banyak dari kita yang mengalaminya, namun mungkin tidak terdeteksi oleh orang-orang sekitar Aku hari ini baru membuka lagi buku harianku dulu, pada saat aku membenci keberadaanku di kehidupan ini. Tertegun aku melihat betapa jahatnya aku pada diriku sendiri, aku bahkan tidak segan-segan menulis bahwa aku tidak bernilai apa-apa.. Dan aku menulis hal-hal yang sama setiap hari. Tapi teman-teman, hari ini saat aku menulis ini.. aku sangat bahagia. Aku punya hal-hal yang bias aku banggakan.. Aku punya sahabat-sahabat yang sangat baik.. Aku sangat berambisi untuk meraih cita-cita yang kudambakan.. Keadaan berbeda 180 derajat dengan saat-saat kelam itu! Aku ingin memberi tips kepada teman-teman yang mugkin juga mengalami fase yang...

Menggendut bahagia di Blitar dan Malang

Halo, long time no see ! Setelah sekian lama akhirnya aku ada niat untuk membuat tulisan baru di blog ini... Pada 15-19 Juni 2018, aku bersama keluarga dan Aa (ehem, ehem...) memutuskan untuk liburan bersama ke Blitar dan Malang.. Kenapa? Karena aku ngidam sekali untuk melihat langsung panorama Gunung Bromo, dan Aa juga berasal dari Blitar jadi kita bisa sekalian diajak melihat-lihat kota kelahirannya itu.. Liburan kami berlangsung selama 5 hari 4 malam, dengan jadwal sebagai berikut: OUR ITINERARY Hari 1: Berangkat subuh ke bandara Malang, kemudian menaiki mobil travel melakukan perjalanan selama 2 jam ke Kota Blitar. Kami menyempatkan diri mampir ke Kampung Warna Warni Malang sembari jalan, kemudian setelah sampai di Blitar kami berwisata ke Kampung Coklat, Makam Bung Karno, Istana Gebang (rumah Bung Karno tumbuh besar) Hari 2: Pagi-pagi kami ke Pantai Tambakrejo, kemudian berangkat ke Malang untuk berkuliner. Setelah itu kami istirahat karena subuh berikutnya akan d...