Skip to main content

Creativity Is Great, Dear

Dingin.

Hari ini dingin, kemarin dan kemarinnya lagi juga sangat dingin. Rasanya beku sekali, sekujur tubuh dan jiwaku mengeras dalam suhu berderajat empat ini.

Aku melihat jam tangan hitam yang setia menemaniku selama tiga hari terakhir. Waktu sudah menunjukkan pukul enam sore, dan aku masih berada disini.

Penantian itu sangat melelahkan, dan tiap sosok yang berlalu-lalang tidak tahu apa-apa mengenai diriku. Beberapa barangkali berujar mengenai ketidakwarasan seorang gadis berambut hitam yang bertengger tanpa lelah di kotak telepon merah di sebuah pojok jalan.



Bulu kudukku sudah berkali-kali melonjak, namun tetap saja aku tak bergeming.

“Kau sudah berdiri ditempat ini terlalu lama. Kami khawatir padamu.”
Balasan yang dapat kuberikan kepada wanita paruh baya tersebut hanyalah sebuah senyuman kecil. Lengkungan bibir yang merupakan perpaduan antara ketulusan dan kepasrahan dalam batin ini sudah kulontarkan berjuta-juta di gang mungil bertempatkan rumah susun ini.

 “Mama akan kembali setengah jam lagi. Tunggu Mama di telepon merah diujung gang ini.”
Mama. Kekhawatiranku padanya sangat besar, ia hanyalah seorang diri dalam kehebohan ibukota kerajaan ini. Tiga hari sudah berulang kali matahari terbit dan terbenam, dan ia tidak kembali. Sumber kehidupanku belum kembali.

Tangisan pilu tidak dapat terkeluarkan lebih lagi. Aku pastinya akan sebatang kara dalam ruangan di lantai dua  bernomor tiga belas tersebut. Kamarku memiliki mesin penghangat, namun tetap kurasakan rasa dingin; kedinginan terparah dalam hidupku.

Mungkin aku terlalu dimanjakan Tuhan, sehingga tekanan yang menimpaku ini terasa sangat mematikan.

Hidupku di Indonesia selalu penuh tawa dan bahagia; orang tua yang menyayangiku apa adanya, seorang bintang kelas di sekolah yang dikagumi sepenjuru kota, peraih sebuah beasiswa di kota London yang sangat percaya diri..
Keberangkatanku ke London dengan Mama tidak mengecewakan, nasihat-nasihat penuh kebijaksanaannya membuatku merasa siap untuk berkuliah di University of London. Gedung kampus yang memiliki keindahan bagai istana membuatku sangat penasaran. Apakah suasana kelas akan menyenangkan atau malah berisikan konflik dan persaingan? Bagaimana dengan perkuliahan yang akan kujalani, dan apa yang harus kulakukan jikaku disingkirkan dalam pergaulan?

“Semua akan lancar saja asal kau lakukan yang terbaik. Serahkan kepada Tuhan, ingatlah bahwa Mama akan selalu menjadi kekuatanmu juga.”

Wanita cantik yang duduk bersamaku di taxi menuju sebuah rumah susun di kota London membelai rambut sebahuku yang sedikit bergelombang. Tanganku yang berkeringat digenggam erat olehnya, dan aku saat itu tidak bisa membayangkan kesendirianku saat Mama akan kembali ke Indonesia yang berkepulauan banyak, negara yang kucintai sepenuh hatiku.

 “Lea, kamu harus segera kembali kerumahmu. Mari kuantar, kau terlihat lelah.” Wanita paruh baya yang tinggal di lantai bawah menjangkau parasku yang tidak mau meninggalkan kotak telepon merah.
Sebuah usapan dipunggung diberikan olehnya, dan kali ini aku tidak sanggup. Gadis yang ceria dan dikagumi teman-teman tidaklah sekuat itu. Batu karang yang berdiri kokoh dan tegar juga bisa runtuh, dan hancur berkeping-keping.

Mama, aku rindu mama yang jahil dan kreatif. Hatiku ingin bertemu Mama yang biasanya selalu mengabari, dan kekuatanku ada padamu.

Madam Kathleen yang baik hati itu memelukku erat dan menggiringku ke rumah diatas tangga. Tangannya yang menuntunku sangat hangat.

“Masuklah ke rumahku terlebih dahulu, aku akan menyiapkan secangkir coklat hangat. Bulan Januari memang cukup dingin, dan aku tahu kamu belum terbiasa dengan iklim di London ini.” Ia menuangkan secangkit coklat hangat untukku. “Kau masih muda, tidak boleh sakit dan harus menjaga kesehatan.”
"Terima kasih, Madam.” Ucapku yang masih penuh duka.  “Dukungan tulus anda sangat berarti, aku sendirian. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.”

Mom?”

Seorang balita berambut coklat mengintip dari kamar dan menatapku dengan mata bulatnya. Lelaki mungil itu tidak berani menghampiriku; setidaknya itulah yang kuduga dari gestur tubuh mungilnya.

“Clark.” Madam Kathleen berujar sembari tersenyum. “Tidak perlu sembunyi begitu, Kak Lea tidak menggigit.”
Perlahan-lahan ia keluar dan mengendap-endap mendekatiku. Boneka superhero didekapannya diberikannya kepadaku, dan aku memberikan senyumanku kepadanya.

“Selamat malam superhero kecil, aku Lea.”
Bocah bermata biru tersebut membalas uluran tanganku dengan malu-malu.

“Kak Lea mau menjadi model untuk kugambar?”  ucap bibir tipis Clark yang berupaya naik ke sofa kuning di ruang tamu dan menyandarkan dirinya disebelahku. “Teman-teman mengejek, katanya gambarku jelek dan tidak kreatif.”
Aku menundukkan kepalaku sejajar dengan Clark, tidaklah akan kubiarkan bocah ini merasa rendah diri.

“Setiap orang punya gaya kreatifitasnya sendiri, Clark.” Ujarku sembari mengingat kata-kata Mama padaku saatku benci dan kecewa dengan segala hal dalam diriku. “Kau tidak boleh percaya dengan teman-teman yang mengatakan kamu tidak kreatif.”

“Betulkah?” cowok manis berusia enam tahun tersenyum membulatkan matanya. “Aku tidak punya inspirasi untuk menggambar.”
“Kau pernah melihat gambar-gambar abstrak di tembok-tembok di London ini?” Aku berujar sembari menaruh cangkit minuman coklatku yang kini telah tiada. “Orang-orang itu seringkali dianggap gila dan tidak berotak.”

Clark mencondongkan tubuhnya padaku. “Street art, kak?”



“Namun kau tahu kalau ternyata kegilaan itu dipandang dunia saat ini sampai ada pameran mengenai itu?”  
Aku melihat Madam Kathleen yang akan membuka pintu depan yang diketuk.

“Yah, kreatifitas hanyalah masalah sudut pandang, Clark.”
Creativity is great, dear.”

Suara itu.

Mataku membelalak sebesar-besarnya dan aku merinding. Tidak, bukan merinding karena tidak enak badan seperti yang sebelumnya, dan bukan juga karena suhu yang terlalu berderajat terlalu rendah di bulan Januari ini.

“Mama!”
Aku mendapatkan hidupku kembali.

“Kita harus selalu waspada, Lea. Kriminalitas selalu terjadi dimana-mana, ditempat yang terlihat aman sekalipun.”

Mama yang terlihat lemas duduk disofa bersama kami, aku menghangatkan tubuhnya dengan sebuah pelukan erat.
“Untunglah aparat polisi di London ini sangat sigap dan membawa ibumu kembali kepadamu.”

Madam Kathleen terlihat sangat lega dan membawakan handuk dan pakaian baru, warga di London ternyata memang ada yang tulus dan mau membuka hati; kepada pendatang baru sekalipun.
Aku menangis, senang dan kelegaanku berpadu menjadi satu.

“Kreativitas penting, pahlawan cilik.” Mama berujar sembari menatap Clark. “Aku merasakan kenikmatan dari memedulikan hal-hal cantik namun juga mengabaikan hal-hal menyebalkan.”

“Kreatif juga berarti cerdik. Seperti diriku, loloskan diri dari ancaman dengan kreativitas dan kecerdikan.”  Mama berujar sembari mengeluarkan air mata yang sangat memedihkan hatiku.
 “Dalam kasus tertentu, terkadang kita hanya dapat mengandalkan otak kanan kita.”
“Cara yang tidak terpikirkanpun jadi terpikirkan. Kreativitaslah yang membawa mama kembali kepadaku.” Aku yang masih menangis menyenderkan kepalaku dipundak beliau.
Bulan pertama tahun baru yang dingin ternyata tidak berhasil menghancurkan diriku.
Creativity is great, never forget that.”

Comments

Popular posts from this blog

Manado, kota yang penuh kesan

Haloo, jadi sebetulnya ini adalah tulisan yang tertunda. Aku tidak bisa menuliskan trip secara detail karena aku sempat malas menulis dan kini saat berhasil mendapatkan mood , aku malah lupa-lupa ingat. :") Maafkan saya. Aku sempat mengunjungi Manado beberapa waktu yang lalu (secara mendadak dan menyenangkan) dan akan mengulasnya sebisaku pada tulisan ini. C heck these points out ! 1. Kita dapat dengan mudah melihat keindahan laut dan pegunungan di kota Manado Pemandangan unik kombinasi laut dan gunung di Manado. Pegunungan ini terlihat dari sebuah pantai. Pantainya sendiri saja sudah indah, bagaimana kalau dikombinasi dengan view gunung? Mantap! Hati jadi ikutan adem. Indah sekali, bukan? Aku menginap di sebuah hotel yang ternyata memiliki pantai. Tempat tersebut sangat indah untuk berfoto-foto, tak lupa aku pun numpang eksis di sana. Maklumlah, mumpung background fotonya keren. I heart you. 2. Di kota Manado banyak spot indah untuk berfoto dengan m

Kemari, Kamu Harus Kemari

Selamat datang di dunia Pergi, aku melangkah pergi Arahkan kakiku Menuju sesuatu yang belum kuketahui Terkadang yang manis terasa pahit Antara itu memang pahit sepahit-pahitnya Atau lidah kamu yang memaksanya menjadi pahit Jangan, sayang. Aku bisa menjadi diriku, dan kamu tetap menjadi dirimu. Aku tidak perlu menjadi kamu, dan kamu tidak perlu menjadi diriku. Aku hebat, begitupun kamu. Aku kuat, begitupun kamu. Bibirku bersenandung, begitupun bibirmu. Kakiku menari, begitupun kakimu. Telingaku menikmati irama dalam harmoni, begitupun telingamu. Mataku terpejam beristirahat, begitupun matamu. Manis, semua manis. Antara itu memang manis semanis-manisnya. Atau lidah kamu yang memaksanya menjadi manis. Lanjutkanlah, sayang. Kamu bisa menjadi dirimu, dan aku tetaplah aku. Kamu tidak perlu menjadi aku, dan aku tidak perlu menjadi dirimu. Kamu hebat, begitupun aku. Kamu kuat, begitupun aku. Jangan berhenti bersenandung. Jangan berhenti menari. Jangan berhent

Untitled (unfinished story)

*TIDAK SELESAI DAN MENGGANTUNG :")* ditulis 11 Maret 2013 Aku merasakan matahari yang mulai menampakan sinarnya melalui celah jendela kamarku. Burung-burung berkicau seolah-olah mereka tengah berusaha membangunkanku. Dari kejauhan terdengar suara ayam yang berkokok, menandakan pagi yang telah tiba. Aku mendesah pelan. Hari yang baru telah menunggu untuk kuhadapi. Namun entah mengapa rasanya berat sekali untuk membuka kembali kedua mataku. Rasanya aku ingin tidur selamanya saja. Aku sesungguhnya tidak ingin terbangun lagi. “Kak Mit.” Seseorang memanggilku ketika aku tengah berusaha melanjutkan mimpiku. Kurasakan sepasang tangan mungil menguncang-guncang tubuh yang masih dilapisi selimutku. Aku diam dan tak bergeming. “Kak Mit!” suara tersebut mengeyel. Uh, mengganggu saja. Aku masih ngantuk tahu. “KAK MITA!” kali ini ia menjerit dengan volume melewati batas maksimal tepat disebelah telingaku. Aku pun spontan membuka mataku lebar-lebar dan melotot ke arah su