(ditulis 4 Desember 2013)
BASED ON A TRUE STORY.
Ik hou van je, Mami!
Butiran salju mulai berjatuhan,
menambah keindahan pemandangan di kota kecil ini. Walaupun aku memakai
berlapis-lapis pakaian ditambah dengan sehelai syal berwarna orange kesayanganku,
dingin tetap dengan ganas menyelimuti tubuhku. Aku
menggigil hebat. Musim salju memang menusuk.
“Ayo kita berangkat, sayang.”
Seorang wanita nan anggun
menggenggam tanganku dan mengajakku mulai melangkah. Rambut hitam yang bermodel
pendek tersebut terlihat sangat trendi
dan cocok sekali dengan wajahnya. Sosok mungilnya terus berjalan maju
tanpa ragu di tengah salju yang turun.
“Tapi saat ini dingin sekali, Ma.
Aku jadi malas ke sekolah.” Rengekku pelan. Salju di pagi hari membuatku ingin
berguling-guling di ranjang saja. Perjalanan yang tidak terlalu dekat juga
menghambat niatku untuk belajar.
“Hari ini hari pertamamu, sayang.
Apakah kau tidak bersemangat di Belanda?” ujarnya sembari menatapku
dalam-dalam. “Ini akan menjadi hari yang tak terlupakan!”
Matanya berseri-seri, aku tahu ia
tengah berusaha menyemangatiku. Aku pun memilih untuk diam dan mengikutinya
terus melangkah. Tangannya dingin sekali, namun ia tak ada sedikitpun keluhan
yang terucap dari bibir tipisnya.
Disekitarku banyak sekali
orang-orang berkewarganegaraan Belanda yang, sepertiku, memakai jaket tebal dan
perlengkapan melawan musim dingin lainnya. Bahkan beberapa orang masih berani
bersepeda. Sebenarnya salju dilantai belum tebal, namun bukankah tetap saja
berbahaya?
“Kau tahu.” Mama tiba-tiba berujar.
“Sebentar lagi adalah hari Natal.”
Aku mengangguk senang. Natal memang
salah satu hari yang kutunggu-tunggu. Hadiah, bertukar kado, bernyanyi-nyanyi
riang, Sinterklas. Segala momentum yang ada membuatku menantikannya sepanjang tahun.
“Waktu berjalan sangat
cepat.” Ucap Mama lirih. “Dan aku pun bertambah tua, sayang.”
Aku menatapnya bingung, sama sekali
tak mengerti apa yang dibicarakannya. Yah, anak kecil memang belum bisa
mengerti hal-hal seperti itu, bukan?
Aku hendak bertanya lebih lanjut
namun Mama tak melanjutkan ucapannya, ia hanya menatap lurus kedepan dan dalam
genggamannya aku pun mengikuti langkah mantapnya menuju sekolahku yang baru.
**
“Selamat pagi, anak-anak. Hari ini
kalian akan mendapatkan teman baru dari Indonesia.” Seorang wanita muda
berpostur tubuh tinggi menggandengku menuju kelas dan mengenalkanku dalam
bahasa yang belum bisa kumengerti. Anak-anak kecil berambut pirang dan coklat
yang tengah mengikuti pelajaran menatapku heran. Mungkin mereka tengah
berpikir, mahluk dari planet mana itu? Aku dengan rambut hitam sebahuku memang
terlihat mencolok sekali. Aku pun menunduk malu, sedikit tidak tahan dengan
tatapan siswa-siswi sekolah tersebut. “Namanya adalah Anetta. Ia baru saja saja
sampai di Enschede minggu lalu.” Ia terus saja mengoceh dalam bahasa Belanda.
Mama yang berdiri dibelakangku kelihatannya juga belum mengerti. Kemudian
wanita yang tak lain dan tak bukan adalah kepala sekolah tersebut tersenyum
pada Mama.
“Anakmu akan baik-baik saja, kami
akan menjaganya.” Ucapnya dalam bahasa Inggris. Aku yang masih kecil juga belum
mengerti bahasa Inggris maupun bahasa Belanda, sehingga aku sama sekali tak
mengerti apa yang tengah mereka bicarakan.
“Terima kasih, Juf[1]
Linda.” Ucap Mama sembari berjabat tangan dengan wanita tersebut. Beliau
menatapku cemas namun menepuk pipiku pelan. “Semangat, sayang.”
Hari itu pun kulalui dengan diam.
Aku sama sekali tak mengerti apa yang mereka minta. Aku sedikit kesal pada Mama
dan Papa yang membuatku masuk sekolah di Belanda di tengah-tengah semester
seperti ini. Sudah pasti aku banyak tertinggal, dan lagipula aku juga tak
mengerti sama sekali bahasa Belanda. Aku tak mengerti saat ibu guru cantik yang
menjadi wali kelasku mengajakku berbicara. Aku juga tak mengerti saat teman
sekelasku mengajakku berbincang-bincang. Ah, aku benci sekali suasana canggung
seperti ini.
Dan yang paling parah adalah
penindas-penindas kecil di kelas tersebut. Bel berbunyi, dan aku menduga itu
adalah bel menandakan dimulainya istirahat. Yah, mungkin system bel nya masih
sama seperti saat aku bersekolah di Jakarta dulu. Di sekolahku yang dulu aku
tidak ada kesulitan sama sekali. Aku cukup berprestasi dulu, teman-temannya
menyenangkan dan guru-guru menyukaiku. Bukannya terlalu percaya diri, namun
Mama pernah berkata kalau ia sangat bangga denganku.
“Anetta, hoe gaat het met jou[2]?”
wali kelasku berjongkok dan bertanya dengan lembut padaku. Mata birunya indah
sekali saat dilihat dari dekat, aku iri sekali pada mata indahnya. Di bajunya
terdapat sebuah pin bertuliskan ‘Cornelieke’. Sepertinya memang itulah nama
beliau.
Aku hanya tersenyum, aku tidak
mengerti apa yang diucapkannya. Namun karena ia tersenyum, sepertinya hal
tersebut hal yang baik. “Het is pauze, hoor. Wil je naar de speeltuin gaan[3]?”
Aduh bagaimana ini, aku tak
mengerti. Guru baik hati tersebut mengangguk memaklumi dan menggandengku menuju
sebuah lapangan luas. Disana banyak sekali anak-anak yang tengah bermain tali.
Mereka menyebut permainan tersebut sebagai ‘Tip-Tap-Top’, dimana kita harus
melompati tali tersebut dengan pola-pola tertentu.
Guru tersebut mengantarku kepada
sekelompok anak dan dengan gerakan tubuhnya memintaku untuk bergabung dengan
mereka. Juf Cornelieke meninggalkanku dan menuju seorang anak yang tiba-tiba
saja menangis keras. Aku takut ditinggal sendirian.
Tiba-tiba seorang anak berambut
coklat menghampiriku dan menginjak kakiku. “Wie ben jij?”[4]
geramnya. Perempuan tersebut berbadan cukup besar sehingga membuatku ketakutan.
Ia mendekatiku dan mengamatiku dari atas sampai bawah. Aku tak tahan dan segera
berlari. Tanpa disangka ia juga mengejarku dan kami pun berkejar-kejaran di
lapangan luas tersebut, diiringi tatapan heran teman-teman kelas yang lain. Juf
Cornelieke masih sibuk mengurusi anak yang terjatuh dari ayunan sehingga tidak
menyadari aku tengah dikejar olehnya.
“Ik heb je!”[5]
ucapnya senang saat berhasil menangkapku. Badanku gemetar, sepertinya dulu di
Jakarta aku tak pernah ditekan seperti ini. Ia kemudian menarik-narik rambutku
dan menjambaknya kencang. Aku pun tak tahan dengan rasa sakit dan tekanan
darinya sehingga aku pun mulai menangis. Anak tersebut semakin menjadi-jadi dan
mendorongku.
“Stop!” Juf Cornelieke menghampiriku
dan memisahkanku dengan anak yang setelah kuselidiki di kelas ternyata bernama
Shira. Juf Cornelieke yang berambut pirang menenangkanku dan salju yang tadi
sempat berhenti kembali turun. Aku pun mengikuti pelajaran hari itu dengan
perasaan kesal dan aku sangat bahagia saat akhirnya waktu pulang tiba.
Mama berbicara sebentar dengan Juf
Cornelieke dan sesekali mengangguk. Aku yang diminta menunggu disebuah bangku
tak dapat mendengarkan percakapan mereka, telingaku tidak setajam itu. Mama
kemudian menghampiriku dan menggengam tanganku keras sekali.
“Bagaimana hari ini, Anetta
sayang?” ucapnya lembut sembari berjalan menuju rumah kami yang berupa
apartemen dua lantai. “Papa hari ini sedang sibuk di kampus sehingga tidak bisa
mengantarmu.”
Aku mengangguk memaklumi. Lagi pula
aku bisa tinggal di Belanda sini kan juga karena Papa. “Tidak apa-apa, Ma.”
Tentu saja aku memaklumi Papa yang
sibuk. Beliau tengah melanjutkan studinya disini. Dan aku sama sekali tidak
merasa kesal beliau tidak dapat menemaniku hari ini.
“Sayang, tadi kata Juf Cornelieke
kamu ditindas?” ucap Mama lirih. Beliau sepertinya berat sekali mengucapkan
kalimat tersebut. Seperti ada sesuatu yang menahan.
Aku terdiam dan mengangguk. Namun
aku sama sekali tidak merasa sedih, karena aku tidak terlalu memikirkannya.
Mama ternyata mengajakku ke sebuah
stasiun bus yang bernama Deppenbroek. Bus-bus tersebut terlihat sangat megah
dan pikiranku terbukti, karena saat aku masuk dan duduk didalam, rasanya sangat
nyaman sekali. Bangku-bangku yang empuk membuatku ingin meloncat-loncat disana.
Aku melepaskan jaketku yang sudah kotor dengan salju dan duduk dengan tertib.
Bus pun mulai melaju ke suatu tempat yang aku sendiri tidak tahu. Wajar kalau
aku tidak tahu, aku belum pernah tinggal di sini sebelumnya. Enschede adalah
sebuah kota yang tenang dan nyaman, aku sangat suka lingkungannya yang baik.
Yah, kecuali di sekolah.
“Kita akan ke Centrum, Anetta. Kita
akan belanja dan bersenang-senang.” Ucap Mama seraya mengedipkan mata kirinya.
Aku yang masih bingung tersenyum saja.
**
Suasana centrum cukup ramai dengan
pengendara sepeda. Lantai yang belum terlalu licin memungkinkan mereka untuk
bersepeda dengan lancar, walaupun memang harus tetap waspada. Mama mengajakku
ke sebuah toko mainan dan aku girang sekali masuk ke sebuah toko yang penuh
dengan benda kesukaanku. Aku mengitari toko tersebut dan menemukan banyak
sekali boneka dengan berbagai macam bentuk. Aku pun jatuh hati pada sebuah
boneka harimau mungil dan merengek Mama untuk membelikannya padaku. Mama yang
awalnya terlihat enggan pun akhirnya mengeluarkan uang sambil tersenyum. Aku
sempat mendengarnya berbisik pelan. “Akan kulakukan apapun asal kau senang,
Anetta.”
Hari itupun kami lanjutkan dengan
melihat-lihat keadaan pusat kota tersebut dan aku terkagum-kagum melihat
deretan toko yang terletak outdoor. Suhu yang dingin pun kulupakan karena
semangatku meluap-luap. Aku dan Mama memasuki berbagai macam toko satu demi
satu. Hari ini sebenarnya tidak buruk-buruk amat.
Kami pulang dengan wajah
sumringah. Hari itu indah kecuali bus aroma yang cukup membuat mual.
Hal itu tidak sebanding dengan kebahagiaan yang hari ini aku dapatkan
bersama Mama. Langit berwarna kemerahan, dan dari kejauhan aku melihat sebuah
sepeda melaju kencang.
Papa sudah pulang!
Postur gagahnya semakin mendekat dan
aku menyambutnya dengan senang. Beliau pasti lelah setelah seharian berusaha
keras belajar. Kami naik ke rumah kami yang berada di lantai dua apartemen
tersebut. Sebenarnya lebih banyak orang lanjut usia yang tinggal disitu.
Mungkin karena daerah tersebut tenang sekali dan jarang ada keributan. Sejauh
pengamatanku, daerah tersebut sama sekali tidak rawan kejahatan dan nyaman
untuk ditinggali.
Papa menggantung jaketnya dan duduk
disebuah bangku mungil. Mama menyiapkan sebuah minuman hangat untuk kami
bertiga. Aku memang anak tunggal, walaupun aku sangat mengharapkan seorang adik
yang lucu dan manis.
“Bagaimana hari ini, Anetta?” Papa
berkata seraya meminum coklat hangat yang telah diseduh Mama. Beliau duduk dan
menyalakan TV yang tengah menyiarkan sebuah berita. “Apakah sekolah barumu
enak?”
Aku pun terdiam sejenak mengingat
perlakuan Shira padaku. Penindasan yang ia lakukan sudah berusaha kulupakan,
namun entah mengapa saat ini aku terus mengingatnya. Aku berusaha untuk tidak
peduli, namun mengapa sulit sekali untuk bertindak demikian?
“Ehm, tapi hari ini aku mendapatkan
sebuah boneka dari Mama, Pa!” ujarku berusaha mengalihkan pembicaraan. Papa pun
menatap Mama penuh arti. “Bukankah sudah
kubilang untuk berhemat? Jangan membeli barang yang tidak terlalu penting.”
“Tidak penting? Tidakkah
kebahagiaan putri kita penting?” balas Mama berusaha tenang. Sepertinya beliau
mulai sedikit kesal. “Kau tahu, aku akan berusaha habis-habisan demi Anetta.”
“Aku mengerti. Hanya saja sebuah
boneka mahal? Bukankah itu melebihi budget kita di sini?” ujarnya sembari
menatap keluar jendela. Salju semakin deras dan jalanan mulai tertimbun salju.
“Kau tidak tahu apa yang Anetta
alami hari ini, Pa. Aku hanya ingin ia merasa lebih baik.” Ujar Mama. Tanpa
sadar mereka berdebat didepanku yang hanya bisa celingukan. Akupun memilih ikut
menatap salju yang semakin deras.
“Demi Anetta, apapun akan ku
lakukan. Aku rela membanting tulang deminya.” Ucap Mama singkat sembari
menatapku penuh arti. Papa pun memilih diam dan tak melanjutkan perdebatan
tersebut.
“Ya, sayang. Kau telah berusaha
habis-habisan dan aku bangga sekali padamu. Bekerja diam-diam disebuah toko dan
dimarahi pelanggan adalah hal yang berat bagimu.” Bisik Papa lirih namun masih
dapat terdengar olehku. Mama beranjak kedapur hendak memasak. Namun peluh
berjatuhan dari pelipisnya. Dan beliau tidak memberi tahuku apa yang telah
beliau lakukan selama aku sekolah, namun semangat Mama wajib diacungi ratusan
jempol. Papa pun segera memeluk Mama penuh sayang. “Maafkan aku.”
**
“Selamat hari ibu!”
Sebuah ciuman ku daratkan di pipi
Mama. Walaupun di Belanda hari ibu dirayakan saat pertengahan tahun, aku
memilih tetap mengikuti tanggal yang ditetapkan di Indonesia. 22 Desember.
Mama terperangah melihat prakarya
yang telah kubuat. Berantakan dan tidak teratur, bahkan sebenarnya sangat
kacau. Ya, aku memang teledor. Namun Mama sama sekali tidak peduli. Papa juga
mencium kening Mama dan memeluknya erat.
“Kau ibu terhebat didunia.” Ucap
Papa sembari tersenyum lebar. Mama pun tertawa kecil dan sepasang mata indah
miliknya mulai berkaca-kaca. Aku pun mengangguk dan menyetujui kata-kata Papa.
“Thank you, my little princess.”
Ujar Mama sembari menerima prakarya kartu tiga dimensi buatanku. Warna nya cerah
dan aku sudah berusaha menggambar sebuah bunga di kartu tersebut.
“Kau ingat, aku pernah bilang aku
semakin bertambah tua?” ujar Mama. “Tapi aku sama sekali tidak peduli, selama
aku masih bisa bersama keluarga dan putri tercintaku ini.”
Aku mengangguk. Penuaan memang
merupakan proses yang tak bisa dicegah atau dihindari. Itulah yang dinamakan
siklus hidup. Kita pernah kecil dan akan menjadi besar. Namun mengapa harus
memedulikan itu selama kita melakukan yang terbaik?
“Waktu memang cepat berlalu, dan aku
tak sabar melihatmu sebagai seorang wanita dewasa.” Ucap Mama lagi. Aku pun
memeluknya tersenyum. Aku tahu Mama diam-diam telah bekerja sangat keras demiku
dan hal tersebut membuatku terharu.
“Aku rela mengorbankan apapun
demimu, Anetta.” Ucap Mama. Kali ini beliau tidak dapat menahan air mata yang
sedari tadi mendesak untuk keluar. “Kau tahu, saat kutahu ada orang yang
menindasmu, aku merasa sangat marah.”
Aku terdiam. Sebegitu sayangnya kah
beliau kepadaku?
“Namun kita hadapi semua
permasalahan bersama, ya, sayang.” Ucapnya. Kini aku, Mama dan Papa saling
berpelukan dibawah naungan salju yang turun dibalik jendela.
“Terima kasih Ma karena sudah
berjuang untukku. Akupun akan berjuang keras untuk Mama.” Ucapku pelan,
bersyukur atas cintanya yang sangat tulus sepertiku. Seandainya digambarkan
dengan warna, kasih sayang seorang ibu kepada anaknya adalah warna putih. Putih
seputih salju.
Comments
Post a Comment