Skip to main content

Hari ini, hari esok



(ditulis 27 Oktober 2013)

rintik-rintik menambah hawa dingin di dalam kamar seorang gadis. Remaja manis tersebut memeluk bantal guling merah muda mungil miliknya dan tersenyum kecil. Ia meringkuk didalam selimut merah muda yang melapisi tubuh mungilnya.

 Ponsel yang digenggamnya erat bergetar pelan, yang membuatnya melonjak dari posisinya rebahnya. 

Ia menyingkirkan selimut, kemudian duduk dan jari-jemari tangannya dengan lincah membuka sebuah pesan singkat yang masuk.

“Selamat malam cantik, tidur yang nyenyak yah.”

Wajah Clea kini berseri-seri. Lagi-lagi sms dari sosok misterius yang akhir-akhir ini terus membuat hatinya berbunga-bunga. Kali itu ia memejamkan matanya  dengan perasaan yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Clea tersenyum lebar, ia bermimpi indah diiringi oleh suara rintikan hujan yang menenangkan.

**

“Cle, gue saranin lo jangan terpengaruh sms-sms itu.” Reina menatap sahabatnya dengan raut serius. Ia benar-benar khawatir dengan Clea yang tak henti-hentinya membicarakan penggemar misterius yang terus-menerus mengiriminya pesan sejak dua minggu yang lalu. Bukannya Reina tidak ingin Clea senang, tapi ia takut Clea akan terus mengacuhkan kehidupan nyata yang seharusnya dijalaninya.

“Ah, Rei, tapi gue seneng banget. Walaupun tadi gue di hukum Bu Reni, gue sama sekali gak peduli.” Gadis berambut sebahu tersebut terus berceloteh.

 Ini dia nih yang membuat Reina benar-benar cemas. Clea sangat polos dan lugu. Ia mudah sekali mempercayai segala sesuatu. Yah, walaupun terkadang hal tersebut membawa efek positif, namun belum tentu orang lain tidak memanfaatkan kepolosan Clea. 

“Rei, lo kenapa sih? Lo gak seneng kalo gue seneng?”

Reina geleng-geleng kepala. Ia sangat bingung. Sobat sekaligus tetangga seberangnya tersebut sangat kelas kepala.  “Lo jangan negative thinking gitu dong Cle. Gue sebagai sahabat cuman pengen mengingatkan lo.”

Clea menatap Reina tajam dengan mengeluarkan sebuah desisan pelan. “Gue kira lo sobat yang ngerti gue.”

Reina mendesah pelan. Ia sudah terbiasa dengan mood Clea yang naik turun. Saat perasaanya sedang baik, Clea sangat manis dan perhatian. Namun jika ia sedang kesal, semua sifat-sifat baiknya hilang seketika. Di saat-saat tertentu ia bagaikan monster pemakan manusia yang wajib dihindari.

Namun, Reina mengerti. Bukankah setiap orang ada sifat-sifat baik dan sifat-sifat buruk? Ia terdiam dan memilih tidak melanjutkan perdebatannya dengan Clea. Ia tidak ingin sahabat manisnya tersebut marah padanya, karena ia adalah salah seorang yang paling berharga di hidupnya.

“Hai.” Seorang suara nge-bass menggema di kantin yang tengah mereka tempati. Clea dan Reina serentak menoleh dan keduanya menyunggingkan sebuah senyum. Nito, pemilik suara nge-bass tersebut segera duduk di sebelah Reina. Ya, ia memang telah  memiliki hati Reina sejak mereka kelas sepuluh, yang berarti hari ini adalah hari tepat dua tahunnya mereka jadian.

Clea menepuk jidat. “Astaga! Kenapa gue bisa lupa! Selamat dua tahunan yah, kalian berdua.” Tanpa menunggu balasan, Clea segera menyalami baik Reina maupun Dito.

“Makan-makan dong.” Ujar Clea lagi, yang jelas-jelas telah melupakan kekesalannya pada Reina tadi.  Reina tertawa kecil, matanya berbinar. Dengan senang ia menggenggam tangan Nito. Cowok ini memang sangat popular diangkatan mereka yang ketiga-tiganya telah kelas dua belas dan sama-sama duduk di kelas dua belas A. Nito ikut tersenyum, namun Clea merasa ada sesuatu yang disembunyikan. Sesuatu yang besar. Clea semakin curiga melihat Nito yang menunduk. Tatapan matanya mengatakan ada yang tidak beres.

Bel berbunyi, mengakhiri waktu istirahat mereka. Cleo, Reina dan Nito berlari kecil menuju kelas mereka.

**

Hari itu Clea pulang terlambat. Ia harus mengerjakan tugas fisika yang ia tidak kerjakan kemarin. Seharusnya ia mengumpulkannya tadi  pagi, namun lagi-lagi ia terlalu asyik membaca pesan-pesan singkat yang diterima ponselnya. Ia melalaikan tugas-tugas yang seharusnya ia kerjakan, dan Clea tahu betul ia salah. Bu Reni member waktu terakhir hari ini, atau Clea tidak boleh mengikuti pelajaran yang beliau ajarkan untuk seterusnya. Dan ini bencana bagi Clea yang biasanya selalu mendapatkan nilai tinggi. Yah, sebelum ia meninggalkan semua tugas-tugasnya. Dan kini ia harus menanggung akibatnya. Reina yang sebenarnya ingin sekali menemani Clea terpaksa pulang karena adanya les Inggris yang harus ia hadiri.

“Dor!”

Clea melonjak kaget, disusul dengan tawa lepas dari seseorang dibelakangnya. Nito nyengir, ia sangat puas berhasil mengageti Clea. Cewek tersebut manyun dan pura-pura ngambek. “Rese lo, Nit! Gue laporin Reina juga lo!”

“Oh iya Cle. Gue mau ngomong sesuatu dengan lo,” ujar Nito yang kini duduk di meja sebelah meja Clea. Suasana kelas saat itu sepi. Bahkan di luar kelas juga sudah sepi, mungkin karena jam sudah menunjukan pukul empat sore. Sudah satu jam lewat dari jam pulang siswa-siswi SMA Prestasi.

“Ngomong apa, Nit? Nggak usah tegang begitu, santai saja.” Ucap Clea cuek sembari terus mengerjakan tugas fisikanya. Bu Reni bisa marah besar kalau ia tidak segera mengumpulkan tugas fisikanya. Untung saja Bu Reni hari ini pulang lebih sore, jadi Clea ada waktu untuk membuat tugasnya.

“Cle. Gue sebenarnya suka sama lo. Dan gue yang selalu mengirim pesan singkat ke lo akhir-akhir ini.”

Clea melongo. Pengakuan Nito tersebut membuatnya  mengorek telinganya dan membuka bibir tipisnya lebar-lebar. Ia tidak mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Mungkinkah ia hanya salah dengar? Mungkin ini hanya mimpi?

Nito terus mencurahkan isi hatinya. “Lo ingat Cle, dua minggu yang lalu? Lo marah sama Reina karena ia membatalkan janjinya dengan gue. Sekalipun Reina membatalkan karena ingin menemani lo, lo lebih mementingkan kepentingan gue.”

Clea masih terus terdiam.

“Gue suka sama lo, Clea. Gue jatuh cinta sama sifat lo, lebih dari gue sayang Reina.”
Brak! Pintu terbuka lebar. Seorang gadis berambut panjang masuk dengan mata berkilat marah. Ia menahan tangisnya yang hampir pecah. Reina. Ia mematung menatap Clea dan Nito untuk beberapa detik, dan suasana saat itu sangat mencekam.

Nito terdiam. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

“Hahaha, sebenarnya gue kesini nggak mau kelihatan emosional. Ia sudah tidak tahan lagi.
“Rei..” Clea mencoba menahan Reina, namun hal itu terlambat dilakukannya. Reina segera mengambil buku les yang dicarinya dan berlari keluar kelas tanpa sempat dicegah. Air matanya menetes deras.

Nito merasa sangat bersalah. Ia menatap Clea meminta petunjuk tentang apa yang harus dilakukannya. Gadis yang telah tulus mencintainya kini marah.

PLAK!

Sebuah tamparan dengan mulus mendarat di pipi Nito. Dengan puas Clea mendorong Nito.
“Pertama, lo udah bikin sahabat gue nangis. Kedua, lo udah lancang.” Badan Clea bergetar menahan amarah. Ia kini sangat kesal. Hatinya terasa teriris-iris melihat sahabat yang sangat sabar padanya menangis.

“Dengan lo sms gue, lo udah bikin banyak masalah. Gue jadi nyesel tidak mendengarkan kata-kata Reina.”

Clea pun menutup buku fisikanya. Ia beranjak ke ruang guru, menaruh tugas fisikanya ke meja coklat tua berbahan kayu milik Bu Reni, kemudian berlari secepat yang ia bisa. Ia harus segera menemui tetangga sekaligus sahabat terbaiknya. Ia harus menenangkan sahabatnya dan tentu saja ia harus menjelaskan apa yang terjadi. Ia tidak ingin Reina salah paham. Ia terus berlari dan berlari menuju rumah megah yang terletak di dekat jalan raya di seberang sekolah. Clea yang sedang panik tidak menyadari ada sebuah mobil berkecepatan tinggi yang melesat tanpa memerhatikan sekitar. Ia terus saja berlari. Hantaman keduanya tidak bisa dihindari lagi. 

Untuk sesaat Reina merasa sakit sekali, dan tak lama kemudian semua menjadi gelap.
**
Clea terbangun dengan ngilu diseluruh badannya. Hal pertama yang dirasakannya adalah genggaman erat seseorang. Ia membuka kedua matanya yang telah tertutup entah setelah berapa lama.

“Cle?”

Setelah mulai bisa membiasakan diri dengan cahaya disekitarnya, Clea mulai bisa melihat dengan jelas. Seorang cewek duduk dihadapannya. Pandangannya beralih pada jam digital besar yang tertempel di ruangan tersebut.

“Rei? Lo.. lo kok disini? Sekarang jam setengah lima pagi loh Rei. Dan gue..”

Ucapan Clea terhenti saat Reina menaruh jarinya di bibir Clea. Reina menitikkan air mata. Ia tersedu-sedu. “Rei, lo jangan nangis, soal Nito, gue..”

“Sst. Gue seneng banget bisa melihat lo begini lagi. Gue takut kehilangan lo, Cle. Gue nggak akan pernah maafin diri gue sendiri kalo lo kenapa-kenapa Cle.. Gue..”

Clea menggenggam tangan Reina lebih erat. Reina tersenyum dan segera menghapus air mata yang tak ingin berhenti mengalir. Air mata yang telah menunjukkan segenap perasaannya.

“Gitu dong Rei. Lo jangan diam-diam saja. Lo harus bilang kalau lo kesal, atau sedih, atau senang. Lo harus lebih jujur Rei.” Clea ngoceh. Ia telah kembali pada sifat bawelnya. Reina tertawa kecil.

“Gue mutusin nito. Dan Cle, ini bukan salah lo. Lo sama sekali tidak terlibat.” Reina meminum kopi yang sepertinya telah ia minum sebelumnya, dan membelai rambut Clea. “Pokoknya gue bakal temani lo sampai lo sembuh. Teman saat senang, teman saat susah.”

“Soal Nito, gue setuju. Kita sebagai cewek tidak boleh dianggap mainan. Dan lo memang harus tegas.” Ujar Clea mengacungkan kedua jempolnya, yang segera ia hentikan karena rasa sakit yang menderanya.

“Untuk sementara ini mungkin kita tidak akan berbicara dengan Nito. Dan lo istirahat ya, Cle, biar cepat sembuh dan cepat ke sekolah. Nanti kita makan bakso kantin sama-sama lagi.” Reina tersenyum kecil. Air matanya kembali memaksa untuk keluar. “Gue seneng punya sahabat kayak lo, Cle. Lo tetangga yang selalu bisa diandalkan, hahaha.”

Clea tersenyum mengingat saat Reina pertama kali menjadi tetangga baru gang tersebut. Reina sangat pemalu. Saat itu Clea lah yang terus menemani Reina karena mereka kebetulan satu sekolah dan satu kelas. Mereka menjadi tidak terpisahkan.


Keduanya kembali tertidur dengan bergenggaman tangan setelah bercerita panjang lebar, Mentari mulai menunjukkan rupanya, memberikan harapan baru.  Mungkin keadaan tidak akan sama seperti dulu lagi. Namun baik Clea dan Reina harus menjalani hari ini dengan sebaik-baiknya, karena hari inilah yang akan menentukan hari esok.

Comments

Popular posts from this blog

Wicked always wins!

Hi semuanya! Wah, sudah lama sekali ya aku tidak mem- post di blog ini, sudah berdebu mungkin yah saking sudah lamanya tidak digunakan. Semoga keadaan kamu baik-baik saja, ya. Dalam tulisan kali ini, aku ingin melakukan review terhadap suatu aksi teater di Broadway yang legendaris sekali dan masih kugandrungi sampai sekarang. Hayo, sudah terpikirkan kah? Aku kasih clue , deh. Berkaitan dengan penyihir, warna hijau, monyet terbang... Ya, Wicked ! Aksi teater ini pertama dilaksanakan pada tahun 2003, dengan tokoh utama yaitu Glinda (Kristin Chenoweth) dan Elphaba (Idina Menzel). Wah, kalau yang main setingkat Kristin Chenoweth dan Idina Menzel, pastinya sudah tidak perlu diragukan lagi yah kualitas musikalnya. Glinda dan Elphaba adalah siswa baru di Shiz University, sebuah tempat belajar bagi penyihir-penyihir muda di Oz. Glinda digambarkan sebagai sosok gadis berambut pirang yang sangat populer di kalangan teman-temannya, sementara Elphaba adalah gadis kikuk, idealis, dan ditakuti se...

Dear, Me (and You)

          Pernahkah kamu mengecewakan dirimu sendiri, sahabat? Perasaan benci dan ketidakberanian yang begitu mengurungmu dalam sebuah sangkar baja, tidak memberimu kebebasan sejati.  Tidak, bukan saja merampas kebebasan, tetapi mereka jugalah yang menghentikan laju langkahmu. Keduanya membuatmu berjalan di tempat, berhenti, atau bahkan lebih parahnya lagi; berjalan ke belakang.  Sebetulnya, kamu juga harus menganalisa sebab dari penyiksaan diri tersebut. Sebuah ‘ekskresi’ yang harus dikeluarkan tanpa perlu diraih kembali. Bagaikan sang pangeran katak yang menanti kecupan sang putri, pegharapan yang terlalu tinggi bisa saja mencukai hatimu. Kemungkinan sebuah harapan hanyalah dua, entah itu akan membuat pipimu bersemu, ataulah ia akan memilukan hati cantikmu.  Jadi, kita tidak perlu melakukan yang terbaik? Bukan, aku tidak berkata demikian. Kenalilah potensi dan segala pesonamu. Menurutku, tida...

'Stranded' in The Netherlands

Hoi allemaal! Hoe gaat het met jou? Getting through something new or being that 'new thing' itself is never easy. How eyes look at us as something different might be hard to be unnoticed, and how people treat us differently, might as well be difficult. The Netherlands, well known as the land of the tulips, is something very far far away from my mind. I lived in Indonesia as a little toddler, all I thought was playing, sleeping, screaming, singing and dancing. Having the chance to live and study there, never ever crossed my mind before. Destiny cannot be denied. One day, my dad was asked to live there for a couple of years. First, it was very hard having a long distance father-and-daughter relationship. We went chatting through video chat, and I, as his little girl, always talked to him everything I thought of. We usually have the night prayer together through the video chat, and it was very rough that times. Years flied away; and afterwards, my dad invi...