Skip to main content

Hidupku sangat Sempurna



(ditulis 18 Januari 2013)

Aku menatap jam tanganku gelisah. Cowok dihadapanku kini telah memainkan jarinya semenjak kami  pertama bertemu tadi siang. Aku yakin ada yang tidak beres disini, karena ia hanya bermain dengan tangan dan rambutnya seperti itu saat ia tengah diliputi kebingungan. Ia memegang rambut berduri-seperti-landak nya dan mengusap keringat dingin yang mulai mengalir di pelipisnya.

“Aku sayang sama kamu.” Ia bersuara lirih, nyaris berbisik. Hal tersebut entah mengapa membuatku merinding. Mataku bertemu dengan matanya, ia melirikku penuh arti.

 “Tetapi..”

Perasaanku mulai tidak enak. Tetapi? Mengapa harus ada tetapi? Biasanya tetapi akan diikuti kata-kata yang memberitakan sesuatu yang buruk. Aku mulai membayangkan segala macam kemungkinan ucapannya selanjutnya. Tetapi, aku akan meninggalkan kamu? Tetapi, aku tidak suka denganmu? Tetapi, aku belum keramas pagi ini? Oh tidak, aku tidak boleh berpikir secara negatif.

“Aku sibuk dengan sekolahku.”

Jeger! Rasanya hatiku pecah berkeping-keping saat ia mengucapkan hal itu. Hatiku terasa sakit sekali. Aku merasakan mataku yang mulai memanas, sepanas perasaanku saat ini. Perasaanku kacau balau. Mungkin seperti rujak, karena aku merasa hatiku ditumbuk-tumbuk olehnya. Perasaanku tambah tidak enak.

“Kita putus saja, yah?” ujarnya tenang sembari melihat ke lantai marmer dibawah kami. Akhirnya ia mengucapkan kata-kata yang paling aku takutkan. Sial, aku pun salah tingkah dibuatnya. Aku menggigit lidahku, menahan caci-maki yang sebenarnya ingin kukeluarkan. Tetapi tentu saja aku harus menjaga image dinginku. Aku tidak mau reputasiku dingin-dan-keren ku hancur karena dia seorang.

“Oke deh.” Aku berkata sok tegar. Padahal dalam hatiku aku ingin menjerit sekeras-kerasnya. Kenapa? Mengapa oh mengapa? Bagaimana ini bisa terjadi? Kapan Mengapa Bagaimana
Dimana?

Aku melihat sekeliling kami. Semua sibuk masing-masing. Pelayan restoran sibuk menyajikan pesanan yang telah dipesan pengunjung. Orang-orang yang mengunjungi restoran tersebut juga sibuk. Ada yang sibuk menguap, ada yang sibuk bercengkrama, ada yang sibuk mengetik di laptop, ada yang sibuk joget. Semua terlihat tidak peduli.

“Kamu enggak apa-apa?” Ujarnya lagi. Ketegangan meliputi kami berdua. Aku harus stay-cool. Harga diriku lebih penting, aku mengingatkan diriku.

“Enggak apa-apa. Hahaha.” Aku tertawa hambar mirip deritan pintu untuk menutupi tangisku yang hampir pecah. Ya, hubunganku yang telah berlangsung selama dua bulan ini sukses hancur. Hanya karena beberapa yang ia ucapkan.

Ia pun membayar pesanan kami yang telah dihidangkan dan pamit padaku. Tak lama kemudian ia melangkah pergi meninggalkan ku sendiri dalam kebingungan dan kesedihanku. Aku menarik napas dalam-dalam. Aku tidak boleh menangis di keramaian seperti ini. Aku menutup mataku dan mulai merenung. Apakah kesibukan sekolah kekasihku lebih penting daripada hubungan yang kami laksanakan? Tunggu, ia kini berstatus MANTAN bagiku. Memikirkannya saja sudah membuatku sakit.

Aku meneguk es coklat ku dalam-dalam. Aku sangat berharap minuman tersebut dapat mendinginkan dan menenangkan perasaan-perasaan negatif yang muncul dibenakku. Aku pasti bisa mengatasi perasaan ini. Mengapa masih terasa sakit?

Dasar lelaki tak tahu diri. Aku tak dapat menahan air mata yang memaksa keluar. Pertahananku jebol. Sepertinya aku tak peduli pada imageku lagi, aku tak peduli pada orang lain. Biar saja orang lain mengatai ku lemah. Aku pun mulai menangis dalam kesendirianku itu.

“Kak.”

Aku membuka mataku dan mendapati seorang bocah mungil didepanku. Ia tengah memegang sebuah permen loli dan menatapku heran.

“Kakak enggak apa-apa?” ujarnya. “Mengapa kakak menangis?”

Aku pun terharu dibuatnya. Anak ini manis sekali.

“Enggak apa-apa dik. Kamu sedang apa?” tanyaku sembari menghapus air mata yang masih saja mengalir. Duh, bikin malu saja.

“Sedang mengamati kakak. Aneh.”

Aku bengong. Perasaan sedihku hilang dalam sekejap. Anak ini sangat tidak sopan. Ia mengatai mukaku aneh? Memangnya mukaku sekacau itu?

“Sejak tadi Kakak terlihat sedih. Aku merasa itu aneh. Power Ranger tidak pernah nangis loh Kak.”

Oh begitu rupanya. Aku pun tidak jadi marah padanya dan tersenyum, walaupun sedikit bingung dengan kata-katanya.

“Aku sudah tidak apa-apa Dik.”

Benarkah aku sudah tidak apa-apa? Hatiku masih terasa nyut-nyutan. Rasanya seperti sakit gigi, atau bahkan lebih parah lagi. Aku pun menguatkan diriku.

“Adik bersama siapa?” tanyaku sembari mengamatinya. Bocah kecil tersebut mengenakan sebuah topi coklat bermotif beruang. Topi tersebut menambah kemanisan anak tersebut.

“Aku tak tahu Mama dimana. Power Rangerku ada di Mama.” Jawab anak mungil bertopi coklat tersebut. “Aku sendiri.”

Aku pun bersimpati dan berniat membantunya. Sepertinya ia tersasar di mall besar ini. Dan aku tahu rasanya tidak enak, karena aku juga sering tersasar. Apakah aku dapat membantunya?

“Kakak mau menemani aku mencari Mama?” tanyanya dengan wajah memelas. Matanya melebar, dan sebuah senyum kecil ia sunggingkan. Ia terlihat begitu polos. Tanpa kusadari kepalaku sudah mengangguk mengiyakan permintaannya. Tidak ada ruginya membantu.

Kami bergandengan tangan mengitari mall tersebut. Anak manis disebelahku tetap mengemut permen lolinya dengan tenang. Aku melihat sekeliling dan mengamati orang-orang disekitarku. Semua sibuk. Ada yang berjualan, ada yang sibuk bercengkrama, dan ada pula yang tengah berpacaran. Ah, memikirkan pacar membuatku sedih lagi.

Leon. Cowok berparas tampan itu berhasil memenangkan hatiku beberapa bulan yang lalu. Ia selalu mencari perhatianku. Ia bermain gitar, menyanyi, dan bahkan memanggil namaku kencang-kencang di lorong sekolah. Ia berhasil mempesonaku dengan perhatian dan keceriaannya. Aku suka semua yang ada pada dirinya, bahkan rambutnya yang katanya mirip artis itu.

Gubrak! Aku asyik bengong sampai tak melihat tas yang berada di depanku. Aku terjatuh dengan sukses. Berpasang-pasang mata kurasakan melihatku. Anak disebelahku yang tengah bergandengan denganku pun ikut kaget dan refleks melompat. Aku merasakan sakit didengkulku.

Aku mencoba berdiri, dan kemudian terjatuh lagi akibat tas yang sama. Aku pun berdiri sambil menahan malu. Anak disebelahku menatapku tanpa ekspresi. Aku pun baru menyadari aku belum menanyakan namanya.

“Dik. Namamu siapa?” Tanyaku sambil menjajarkan mataku dengan matanya. Ia tengah mengenakan kaos berwarna hitam. Sangat cocok dengan topi coklat manis miliknya.

“Leon.” Jawabnya tenang.

Leon? LEON?! Ia memiliki nama yang sama dengan mantanku? Mengapa bisa terjadi kebetulan seperti ini? Mengapa Leon?

“Kak. Kenapa?” tanyanya lagi. Aku pun menenangkan perasaanku dan degup jantungnya yang tanpa kusadari juga berdetak kencang.

“Tidak apa-apa. Panggil aku Kak Thea yah.” Jawabku yang masih berusaha menetralkan perasaanku.

Kami pun kembali berjalan. Aku masih merasakan tatapan geli orang-orang akibat aku tersandung tadi. Aku bahkan merasakan mereka tertawa. Aku merasakan pipiku yang memanas.

“Itu Mama!” jerit Leon tiba-tiba sambil berlari kencang. Ia lupa melepaskan genggamanku sehingga aku terseret olehnya.

“Leon!” jeritku refleks. Aku pun tersandung oleh kakiku sendiri dan terjatuh kembali. Astaga. Aku mengutuki kecerobohanku.

Seorang lelaki didepanku menoleh saat aku menjerit Leon. Dan ternyata dia memang Leon. Leon mantanku. Ia tengah bersama gadis manis berambut sebahu dan ia tengah merangkulnya. Secepat itukah ia berpindah hati?

Perasaanku yang tadinya telah tenang kembali memanas. Rasanya aku bisa merasakan emosiku yang memuncak. Aku ingin melabraknya, namun tentu saja itu bukan hakku. Kami telah menjadi mantan, bukan?

Leon kecil berlari kearah seorang wanita paruh baya didekat kami. Wanita tersebut tersenyum lega karena berhasil menemukan buah hatinya, ia memberikan mainan robot yang tadi dingenggamnya pada Leon kecil. Aku merasa senang namun juga kesal.

Leon- mantanku- melangkah pergi dengan cepat. Sepertinya ia merasa tidak enak denganku. Ia menggenggam erat gadis disebelahnya.

Emosiku pun semakin memanas. Aku mengepalkan tanganku yang mengeras. Tubuhku gemetar. Rupanya aku masih belum bisa menerima Leon pergi dariku.

“Kak?”

Leon menghampiriku bersama wanita yang merupakan Mamanya. Aku melirik ke arah pasangan kekasih tadi. Sudah hilang.

“Kakak hati-hati jangan jatuh lagi. Tadi sudah tiga kali jatuh, Ma.” Ujarnya polos kepada Mama nya. Ia pun masih mengemut permen loli berwarna merahnya. Aku menarik napas dan tersenyum.

“Kak Thea tadi menangis ma. Padahal Power Ranger aja enggak nangis, iya kan Ma?”

Wanita anggun disebelah anak tersebut pun mengangguk padaku. “Terima kasih sudah menemani Leon, Nak. Maaf merepotkan.”

Aku pun mengangguk dan tersenyum. Tatapanku masih terpaku pada Leon kecil bersama Mamanya.

“Hati-hati Kak. Jangan jatuh lagi.” Cowok mungil tersebut sangat polos dan mengatakan apa yang ada dirasakannya. Leon pergi bersama Mamanya. Aku yang masih merasa kesal karena mantanku pun bergegas pergi.

Aku yang tengah sendirian pun memutuskan untuk ke tempat karaoke dan bernyanyi sekencang-kencangnya.

Why?! Why?! Why?!” jeritku keras-keras menyanyikan Forget You nya Cee Lo Green.

I love you! I still Love you! Ooooh!”

Tiba-tiba aku merasakan orang-orang menertawaiku. Beberapa orang terpaku dengan mulut menganga. Yang lainnya menatapku tanpa ekspresi dan dengan mulut berbusa. Aku melihat kesampingku dan ternyata aku belum menutup pintu tempat karaoke tersebut dengan rapat. Aku pun menahan malu dan bergegas pergi dari situ. Dan lagi-lagi, aku tersandung karena tas di depanku.

Aku mengerang mendapati lututku yang tergores. Namun entah mengapa aku menyukai sensasi sakit tersebut.

Aku pun mengingat kembali Leon kecil yang mengingatkanku untuk berhati-hati. Ternyata ucapannya memang tepat. Aku sudah berkali-kali jatuh tersandung. Dan mungkin ia menganggapku lebih kuat dari Power Ranger. Aku tidak boleh menangis.

Berkali-kali aku jatuh. Berkali-kali aku tidak berhati-hati. Berkali-kali pula aku menahan malu. Namun hal tersebut menjadi pelajaranku untuk berhati-hati lain kalinya. Dan Leon kecil, ia tidak peduli pada orang lain dan bertindak sesuai apa yang dirasakannya.

Ia tetap tenang saat ia tersasar. Aku pun tersenyum kecil. Aku tidak peduli mantanku bagaimana, karena aku harus melupakannya. Aku harus maju. Untuk apa aku terus terikat oleh bayangannya?

Aku punya orang-orang yang menyayangiku. Mereka peduli padaku. Untuk apa membuang-buang waktu memikirkan yang lalu?

Semua orang akan terus sibuk dan maju. Waktu pun tak akan berhenti. Akupun harus demikian. Hidupku sangat sempurna. Bahkan tanpa Leon sekalipun.

Aku pun berjalan dan, gubrak, aku tersandung kakiku kembali. Duh, rupanya aku ceroboh sekali..

 

 

 

Comments

Popular posts from this blog

Wicked always wins!

Hi semuanya! Wah, sudah lama sekali ya aku tidak mem- post di blog ini, sudah berdebu mungkin yah saking sudah lamanya tidak digunakan. Semoga keadaan kamu baik-baik saja, ya. Dalam tulisan kali ini, aku ingin melakukan review terhadap suatu aksi teater di Broadway yang legendaris sekali dan masih kugandrungi sampai sekarang. Hayo, sudah terpikirkan kah? Aku kasih clue , deh. Berkaitan dengan penyihir, warna hijau, monyet terbang... Ya, Wicked ! Aksi teater ini pertama dilaksanakan pada tahun 2003, dengan tokoh utama yaitu Glinda (Kristin Chenoweth) dan Elphaba (Idina Menzel). Wah, kalau yang main setingkat Kristin Chenoweth dan Idina Menzel, pastinya sudah tidak perlu diragukan lagi yah kualitas musikalnya. Glinda dan Elphaba adalah siswa baru di Shiz University, sebuah tempat belajar bagi penyihir-penyihir muda di Oz. Glinda digambarkan sebagai sosok gadis berambut pirang yang sangat populer di kalangan teman-temannya, sementara Elphaba adalah gadis kikuk, idealis, dan ditakuti se...

Dear, Me (and You)

          Pernahkah kamu mengecewakan dirimu sendiri, sahabat? Perasaan benci dan ketidakberanian yang begitu mengurungmu dalam sebuah sangkar baja, tidak memberimu kebebasan sejati.  Tidak, bukan saja merampas kebebasan, tetapi mereka jugalah yang menghentikan laju langkahmu. Keduanya membuatmu berjalan di tempat, berhenti, atau bahkan lebih parahnya lagi; berjalan ke belakang.  Sebetulnya, kamu juga harus menganalisa sebab dari penyiksaan diri tersebut. Sebuah ‘ekskresi’ yang harus dikeluarkan tanpa perlu diraih kembali. Bagaikan sang pangeran katak yang menanti kecupan sang putri, pegharapan yang terlalu tinggi bisa saja mencukai hatimu. Kemungkinan sebuah harapan hanyalah dua, entah itu akan membuat pipimu bersemu, ataulah ia akan memilukan hati cantikmu.  Jadi, kita tidak perlu melakukan yang terbaik? Bukan, aku tidak berkata demikian. Kenalilah potensi dan segala pesonamu. Menurutku, tida...

'Stranded' in The Netherlands

Hoi allemaal! Hoe gaat het met jou? Getting through something new or being that 'new thing' itself is never easy. How eyes look at us as something different might be hard to be unnoticed, and how people treat us differently, might as well be difficult. The Netherlands, well known as the land of the tulips, is something very far far away from my mind. I lived in Indonesia as a little toddler, all I thought was playing, sleeping, screaming, singing and dancing. Having the chance to live and study there, never ever crossed my mind before. Destiny cannot be denied. One day, my dad was asked to live there for a couple of years. First, it was very hard having a long distance father-and-daughter relationship. We went chatting through video chat, and I, as his little girl, always talked to him everything I thought of. We usually have the night prayer together through the video chat, and it was very rough that times. Years flied away; and afterwards, my dad invi...