Skip to main content

Fiction: Kamu


Suasana hening saat gadis berambut panjang tersebut mulai membuka komputer jadul pemberian sang ayah. Sore tersebut tenang, ia sudah selesai makan bersama dengan kedua adik-adiknya. Kini, ia berada di kamarnya sendiri dan tersenyum mengingat kejadian di sekolah pagi harinya.

**

Hari tersebut sedang diadakan acara sosialisasi kurikulum di sekolah. Seperti biasa, Laras duduk dengan ketiga sohibnya. Mereka sudah berteman sejak pertama masuk SMA Pengharapan tersebut, dan ditahun ketiga mereka bersama keakraban mereka tidak berkurang. Laras selalu gemas melihat Bella yang kecil dan imut. Ia juga selalu senang berdiskusi dengan Aya yang pintar dan bervisi, dan tak lupa juga menggosipkan lagu dan tren gaya hidup terbaru dengan Pia yang tergolong cewek popular di sekolah. Laras sendiri tidak merasa special walaupun teman-temannya bilang ia dewasa dan bijak seperti seorang filsuf.

Laras yang saat itu menguncir rambut bergelombangnya tidak terlalu mendengarkan kepala sekolah yang bercuap-cuap mengenai aturan lama yang dinilai tidak efisien.


'Sistem skors yang lama diubah rentang waktunya menjadi lebih panjang agar anak-anak bias disiplin'


Suasana gaduh, dan Laras tahu betul teman-teman seangkatannya tidak terlalu mendengarkan. Bangku-bangku merah kecil semuanya penuh, namun ternyata sudah banyak kepala yang tumbang, alias ketiduran. Banyak yang bersender pada teman disebelahnya. Sebetulnya, Laras sendiri merasa ngantuk. Satu jam berbicara dan Bu Lina, sang kepala sekolah yang tidak terlalu akrab dengan murid-murid, topiknya masih berputar-putar di sistem skors saja walaupun tak ada yang menanyakannya. Astaga, kepala Laras pusing saking ngantuknya.


'Kalau tidak jera, anak-anak bisa dikenakan sanksi lebih dahsyat, yaitu dikeluarkan dari sekolah'


Sepertinya kata-kata menakutkan Bu Lina tidak menjadi masalah besar. Anak-anak pasti lebih memikirkan ke kantin mana mereka akan mencari makan pada istirahat setengah jam lagi. Aula sekolah yang dingin membuat Laras tambah ngantuk. Ia memijit-mijit kepala yang tambah pusing.


"Sini, senderan sama gue."


Laras langsung menengok ke arah pemiliki suara nge-bass tersebut. Cowok tersebut ternyata sedari tadi duduk disebelah Laras dan kini ia memamerkan cengiran nakalnya. Laras menengok ke arah Bella, Aya dan Pia yang ternyata sudah sibuk sendiri dengan gadget dan ponsel. Mereka sudah tidak saling berbicara lagi, namun sibuk dengan dunia sendiri-sendiri. Laras menengok lagi ke si cowok yang bernama Mio tersebut, yang masih saja memberi tatapan usil pada Laras. Cowok ini biasanya pendiam, sehingga Laras merasa aneh dengan perubahan sikap yang mendadak. Akhirnya, Laras pun memutuskan untuk menuruti kenekadannya. "Boleh".


'Kemudian, sistem denda pun akan kami ketatkan.'


Bu Lina masih mengoceh tanpa didengarkan karena semua sudah jenuh. Wanita paruh baya tersebut sebetulnya baik, kalau saja beliau bisa lebih berbaur dengan murid-murid dan rekan-rekan guru. Guru-guru sekalipun sudah saling berbincang dan ribut sendiri. Semua bising, namun Laras dan Mio masuk ke dalam dunia kami sendiri juga. Mio, cowok kelas lain yang pernah membantu Laras menyelesaikan tugas piket, bercerita soal arahan kuliah teknik mesinnya. Ia sedikit menyenderkan kepalanya ke rambut panjang dibahunya, yang langsung membuat hati malang Laras melonjak keras. Mio, si pelaku kejahatan tersebut, tanpa rasa bersalah melanjutkan ceritanya. "Aku sudah tes di universitas swasta oke dan aku sudah diterima."


"Selamat ya, Mio." Laras berucap tulus sambil sesekali melirik ke teman-teman disebelahnya yang tampaknya tidak menyadari apa yang dilakukannya. Laras memang tidak pernah terbuka mengenai orang-orang yang ia kagumi ataupun sukai. Untuk apa pula diomongkan, menurutnya. Laras menyimak penjelasan visi masa depan Mio yang sudah terang benderang bagaikan kobaran api. Mio yang berpostur tinggi dan bermata tajam menggoyangkan bahunya ke depan dan ke belakang, membuat kepala Laras ikut terayun-ayun. Aneh, hati Laras berdesir-desir karenanya.


"Laras, nanti sore mau temani aku ke toko buku?" ajaknya pelan. Laras, yang masih menuruti kenekadannya, mengangguk pelan. Ia pun menyadari Bu Lina yang tampak kesal dan mulai meminta murid-murid kelas dua belas tersebut untuk fokus kembali. Laras menegakkan kepalanya dan mencolek Bella di sebelahnya yang sudah tertidur pulas. Ia tertawa melihat tingkah imut Bella yang mengucek-ngucek mata sipit manisnya. Semua temannya tidak tahu apa-apa, namun Laras tahu betul Mio menyelipkan sebuah kertas robekan kecil ke atas pangkuannya. Cowok tersebut menggelengkan kepalanya, melarang Laras untuk membukanya saat itu juga. Ia pun berbisik misterius sambil melihat Laras sekilas. "Nanti saja, Ras".


**


Laras masih memikirkan Mio yang menggunakan kaos oblong hitam sore harinya saat ia menjemputnya dari ekstrakulikuler biola di sekolah. Ia masih teringat Mio yang menggandeng tangannya dan memperlihatkan kesukaannya pada pensil cetek. Mio juga mengajak Laras ke rak buku-buku fiksi dan menceritakan dengan antusias kesukaannya pada hal-hal yang tak tergapai logika. Laras tersenyum saat Mio mengantarnya pulang tepat jam lima sore. Cowok tersebut dengan anehnya salah tingkah dan meminta Laras membaca kertas notes pemberiannya nanti malam.


Saat ini, Laras berusaha memfokuskan dirinya pada permainan bola di layar komputer namun ia tidak bisa. Ia memikirkan tulisan di secarik kertas tersebut. Tulisan tersebut bersambung dan menggunakan pulpen hitam, ternyata tulisan tangannya mungil dan keren sekali. Mata Laras beranjak dari layar computer dan untuk kesekian kalinya membaca secarik kertas tersebut.


Laras..
Kamu, yang namanya selalu kulihat setiap masuk toko buku
Kamu jugalah yang selalu kuharapkan untuk terlihat sekilas dari sudut pandangku
Laras..
Apalah dayamu dan juga apalah dayaku
Jika kita memang menjadi kutub yang sama
Secara alami keduanya saling menolak selama ini
Aku melihatmu, kau menoleh pergi
Kau melihatku, aku menoleh pergi
Ras..
Mungkin, hidup ini memang keras
Namun, jangan menyerah
Karena aku ingin mengajakmu menjadi dirimu sendiri
Aku ingin kau tahu aku merindukan mata besarmu
Aku selalu memerhatikanmu tanpa kata, Ras
Karena, aku sayang kamu
Bolehkah aku menjadi milikmu
Karena ternyata, hatiku telah memilihmu?


Cewek tersebut memutuskan untuk mematikan computer dan tersenyum di atas ranjang. Ia heran, mengapa permintaan miliknya bisa terkabul secepat ini. Laras ingat hatinya berdebar-debar saat Mio membantunya menghapus papan tulis dan menyapu kelas. Ruangan kelas yang sebetulnya ramai menjadi tidak mengerikan lagi bagi Laras yang pemalu. Ia terharu mengingat Mio yang memperlakukannya tidak sebagaimana orang lain memandangnya sebelah mata. Dan kini, permintaanya didengarkan.


Laras pergi tidur, membiarkan waktu memisahkan ia dan Mio untuk sementara. Karena besok akan menjadi hari yang bersejarah, tentu saja Laras ingin mengistirahatkan kepala sakitnya terlebih dahulu. Keajaiban bisa terjadi pada saat-saat yang aneh, dan cewek tersebut menemukan keajaiban tersebut pada Mito. Cewek tersebut pun membalikkan notes pemberian Mio dan menuliskan sesuatu dengan pulpen hitam yang dibelinya atas rekomendasi Mio. Ia tersenyum saat melihat lembaran kosong tersebut sudah terisi sesuatu.


Ya. Kamu, Mio..

 

Comments

Popular posts from this blog

Wicked always wins!

Hi semuanya! Wah, sudah lama sekali ya aku tidak mem- post di blog ini, sudah berdebu mungkin yah saking sudah lamanya tidak digunakan. Semoga keadaan kamu baik-baik saja, ya. Dalam tulisan kali ini, aku ingin melakukan review terhadap suatu aksi teater di Broadway yang legendaris sekali dan masih kugandrungi sampai sekarang. Hayo, sudah terpikirkan kah? Aku kasih clue , deh. Berkaitan dengan penyihir, warna hijau, monyet terbang... Ya, Wicked ! Aksi teater ini pertama dilaksanakan pada tahun 2003, dengan tokoh utama yaitu Glinda (Kristin Chenoweth) dan Elphaba (Idina Menzel). Wah, kalau yang main setingkat Kristin Chenoweth dan Idina Menzel, pastinya sudah tidak perlu diragukan lagi yah kualitas musikalnya. Glinda dan Elphaba adalah siswa baru di Shiz University, sebuah tempat belajar bagi penyihir-penyihir muda di Oz. Glinda digambarkan sebagai sosok gadis berambut pirang yang sangat populer di kalangan teman-temannya, sementara Elphaba adalah gadis kikuk, idealis, dan ditakuti se...

Dear, Me (and You)

          Pernahkah kamu mengecewakan dirimu sendiri, sahabat? Perasaan benci dan ketidakberanian yang begitu mengurungmu dalam sebuah sangkar baja, tidak memberimu kebebasan sejati.  Tidak, bukan saja merampas kebebasan, tetapi mereka jugalah yang menghentikan laju langkahmu. Keduanya membuatmu berjalan di tempat, berhenti, atau bahkan lebih parahnya lagi; berjalan ke belakang.  Sebetulnya, kamu juga harus menganalisa sebab dari penyiksaan diri tersebut. Sebuah ‘ekskresi’ yang harus dikeluarkan tanpa perlu diraih kembali. Bagaikan sang pangeran katak yang menanti kecupan sang putri, pegharapan yang terlalu tinggi bisa saja mencukai hatimu. Kemungkinan sebuah harapan hanyalah dua, entah itu akan membuat pipimu bersemu, ataulah ia akan memilukan hati cantikmu.  Jadi, kita tidak perlu melakukan yang terbaik? Bukan, aku tidak berkata demikian. Kenalilah potensi dan segala pesonamu. Menurutku, tida...

'Stranded' in The Netherlands

Hoi allemaal! Hoe gaat het met jou? Getting through something new or being that 'new thing' itself is never easy. How eyes look at us as something different might be hard to be unnoticed, and how people treat us differently, might as well be difficult. The Netherlands, well known as the land of the tulips, is something very far far away from my mind. I lived in Indonesia as a little toddler, all I thought was playing, sleeping, screaming, singing and dancing. Having the chance to live and study there, never ever crossed my mind before. Destiny cannot be denied. One day, my dad was asked to live there for a couple of years. First, it was very hard having a long distance father-and-daughter relationship. We went chatting through video chat, and I, as his little girl, always talked to him everything I thought of. We usually have the night prayer together through the video chat, and it was very rough that times. Years flied away; and afterwards, my dad invi...