PS: mood dari cerita ini agak gelap dan suram. Sekedar iseng saja, tiba-tiba dapat inspirasi di sela-sela belajar :P
Hening.
Entah sudah berapa kali aku melihat cibiran sinisnya itu. Setiap aku membawa nasi goreng masakanku untuk ia cicipi, dirinya selalu menaikkan kedua alis tebalnya dan menatapku seperti seekor cicak raksasa yang menjijikan. Orang itu mengambil piring tersebut, bukan untuk disantap namun untuk dibuang ke tong sampah. "Sudah ku bilang, jangan masak-masak dulu. Udah keasinan melulu, bikin berantakan pula."
Mataku masih belum berpindah dari tangannya yang dengan gesit menuangkan nasi berwarna kecoklatan yang masih panas tersebut dalam plastik merah di keranjang sampah mungil di dapur tersebut. Untuk kesekian juta kalinya, aku merasa akrab dengan tong sampah mungil itu. Rasanya ia juga sudah mulai bosan digunakan akibat ulahku.
"Maaf, Kak. Aku memang tidak pandai memasak." Ujarku. Kali ini, dirinya tidak menjawabku dan mulai sibuk mencuci piring, talenan dan pisau-pisauan yang teracak dimana-mana. Hal seperti ini selalu terjadi nyaris setiap sore, dimana Kak Lea memang baru pulang dari kantor dan masih capek. Aku mengerti ia bertabiat buruk akibat merasa lelah dan tidak ingin diganggu. Ya, aku menerimanya dan semua cibirannya.
Ya sudahlah.
Entah sudah berapa kali kalimat tersebut menjadi mantra andalan yang tak henti-hentinya kugumamkan dalam hati. Aku pun kembali ke kamar dan menatap kedua tanganku yang mulai bergetar. Terkadang aku ingin mengutuk dan memarahinya, kenapa kau tidak bisa berbuat benar sekalipun saja?
Kesia-siaan pun terbesit dalam benakku. Apapun yang kulakukan tidak bisa benar, karena memang diriku yang tidak benar. Jangan-jangan, keberadaanku juga salah.
Mama, aku kangen padamu. Maafkan aku yang lahir di dunia sehingga menyebabkanmu harus pergi. Detik aku muncul di dunia adalah akhir bagi duniamu. Nyawa kita seolah tertukar, Ma. Bagaikan bus yang berhenti di halte, seseorang yang naik digantikan seseorang turun. Saat itu, kau tidak bisa berbuat apa-apa. Namun, Ma, aku ingin sekali kau memarahiku atas kesalahanku. Menamparku pun masih kurang dari apa yang berhak kudapatkan.
Selimut tebal dan ruangan panas tidak dapat menghentikanku dari menggigil. Sungguh, dunia yang hangat ini kerap terasa sedingin es batu dalam freezer. Kedua kakiku menjadi kaku dan keras, rasanya seperti batu yang telah berjuta-juta tahun usianya.
Amarah. Mungkinkah itu yang kurasakan?
Aku tidak berniat menjawab suara hatiku itu, namun badanku berdiri tegak dengan sendirinya. Rasanya kepalan tangan tidak bisa membuatku diam. Saat ini, energi di keseluruhan ototku terasa lebih kuat berpuluh-puluh kali lipat. Ruangan yang sudah panas itu menjadi tambah membara, membuat peluh meluncur di dahi dan leherku. Tubuh kecilku bergetar hebat.
Aku menatap cicak dipojok kamar mungil berdekor merah muda tersebut. Ia segera kabur saat sadar kupelototi, dan aku pun merasa diriku lebih menjijikan darinya. Suara-suara si cicak yang terdengar samar membuatku tambah ingin melonjak. Kau meledekku, cicak?
Kakiku berlari keluar kamar dan menuju dapur. Kak Lea masih sibuk menyusun alat-alat agar rapi dan terorganisir. Susunan yang tadinya sudah rapi, namun kuacak semuanya. Ah, tadi kan hanya piring dan talenan. Kini, aku ingin mengacak seluruh dunia.
Dingin dan keras. Pisau mengkilap menjadi tontonan yang mengasyikkan bagiku. Apalagi, Kak Lea tampak panik saat si besi cantik tersebut menyentuh dagunya. Ya, anak cantik tersebut ingin berteriak namun aku tahu ia tidak berani. Mata yang biasanya mencibir, kini tampak memelas memohon belas kasihan. Persis kucing liar yang meminta semangkuk susu hangat.
"Quina." Kak Lea berucap lirih, sembari menengok ke kiri dan ke kanan memohon pertolongan. Rumah ini memang sudah lama hanya ditinggali kami berdua, jadi aku sama sekali tidak khawatir dia akan memberontak. Siapa lagi yang bisa diharapkan di rumah ini? Cicak? Kecoa?
Hatiku sudah tidak merasakan iba lagi, walaupun wajah cantik Kak Lea menjadi merah dan tubuhnya mulai sempoyongan. Aku membawanya ke pojokan tembok. Ia mengangkat kedua tangan lentiknya, dan menubrukan diri di dinding berwarna putih susu tersebut. Ia menaruh wajahnya menyentuh tekstur keras si tembok tersebut. Kak Lea menarik napas panjang dan berusaha berdiri tegak, walaupun kedua kakinya sudah kehilangan pondasi. "Apakah ini yang kau mau, Qui?"
Langit mulai menjadi gelap, aku bisa melihatnya melalui gorden kuning yang cukup transparan. Hawa dingin mulai menusuk, namun aku tidak peduli. Diriku cukup menyukai kekejaman ini. Aku yakin, sebetulnya diriku sudah lama menantikan ini. Inilah pesta yang sudah kutunggu-tunggu sedari dulu. Menurutku, Mama juga pasti mengerti keadaanku. Kalaupun ia dari surga keberatan melihatku seperti ini, aku sudah tidak peduli lagi. Dunia sudah cukup keras, dan kini saatnya aku berbalik bertindak keras. Bibirku mulai membentuk senyum teraneh yang pernah kubuat. Sedikit tertahan, namun menyenangkan. "Aku sudah menunggu-nunggu situasi ini sedari dulu, Kak."
"Betulkah kau ingin menyamakan dirimu dengan tong sampah?" Kak Lea sudah tidak gemetar lagi. Malah, ia berani-berani menatap mukaku. Kedua matanya kembali sengak, sama seperti Kak Lea yang biasanya membuang masakan dan hadiah-hadiahku untuknya. Rasanya, badanku menjadi semakin panas dan ingin cepat-cepat menghabiskan si gadis serba sempurna itu.
Aku menengok kepada si keranjang sampah mungil yang ternyata kini berada di sebelah kananku. Nasi goreng buangan yang kuracik masih bertengger manis disitu. Pisau ditanganku mendadak terasa keji, dan malah membuat tanganku gemetar. Dasar, bahkan tanganku masih mengkhianatiku pada saat-saat seperti ini. Ia memang tidak bisa berkoordinasi dengan hati dan pikiranku.
Kesal.
"Akukah yang selalu menghantui mimpi burukmu?" Kak Lea mendorong tanganku yang menjadi lemah, dan melepaskan pisau dari genggamanku. Ia menatapku dan menghapus air mata yang ternyata mulai tidak bisa ditahannya. Kedua mata sipit manisnya menjadi merah dan bengkak. Kak Lea menaruh pisau tersebut di meja dapur sebelahnya dan menggenggam kedua tanganku. Tangan gadis itu dingin, dan aku merasakannya gemetar hebat.
Hatiku tidak tahan lagi. Aku menggenggam pisau sayur tadi, kemudian melemparnya ke tong sampah yang dari tadi seolah memintaku untuk melakukannya. Entah mengapa, aku melakukannya. Kalimat itu kembali berputar dalam memoriku.
Ya sudahlah.
Jangkrik mulai berbunyi mengumandangkan lagu andalannya. Sementara, Kak Lea tersenyum di sela-sela isakan pelan yang mengilukan. Ia merangkulku keluar dari dapur yang sudah mulai dipenuhi nyamuk tersebut. Malam memang terlalu dingin untuk dihabiskan didapur, kurasa ia juga setuju mengenai hal itu. Aku menoleh ke belakang saat diriku dan Kak Lea hampir meninggalkan dapur dan menutup pintu geser, untuk terakhir kalinya aku menatap si pisau dapur dalam tong sampah yang seolah meledekku dan menjulurkan lidah sembari menertawakan sosokku.
Ia seolah-olah berkata, mengapa kau gagal lagi?
Hening.
Entah sudah berapa kali aku melihat cibiran sinisnya itu. Setiap aku membawa nasi goreng masakanku untuk ia cicipi, dirinya selalu menaikkan kedua alis tebalnya dan menatapku seperti seekor cicak raksasa yang menjijikan. Orang itu mengambil piring tersebut, bukan untuk disantap namun untuk dibuang ke tong sampah. "Sudah ku bilang, jangan masak-masak dulu. Udah keasinan melulu, bikin berantakan pula."
Mataku masih belum berpindah dari tangannya yang dengan gesit menuangkan nasi berwarna kecoklatan yang masih panas tersebut dalam plastik merah di keranjang sampah mungil di dapur tersebut. Untuk kesekian juta kalinya, aku merasa akrab dengan tong sampah mungil itu. Rasanya ia juga sudah mulai bosan digunakan akibat ulahku.
"Maaf, Kak. Aku memang tidak pandai memasak." Ujarku. Kali ini, dirinya tidak menjawabku dan mulai sibuk mencuci piring, talenan dan pisau-pisauan yang teracak dimana-mana. Hal seperti ini selalu terjadi nyaris setiap sore, dimana Kak Lea memang baru pulang dari kantor dan masih capek. Aku mengerti ia bertabiat buruk akibat merasa lelah dan tidak ingin diganggu. Ya, aku menerimanya dan semua cibirannya.
Ya sudahlah.
Entah sudah berapa kali kalimat tersebut menjadi mantra andalan yang tak henti-hentinya kugumamkan dalam hati. Aku pun kembali ke kamar dan menatap kedua tanganku yang mulai bergetar. Terkadang aku ingin mengutuk dan memarahinya, kenapa kau tidak bisa berbuat benar sekalipun saja?
Kesia-siaan pun terbesit dalam benakku. Apapun yang kulakukan tidak bisa benar, karena memang diriku yang tidak benar. Jangan-jangan, keberadaanku juga salah.
Mama, aku kangen padamu. Maafkan aku yang lahir di dunia sehingga menyebabkanmu harus pergi. Detik aku muncul di dunia adalah akhir bagi duniamu. Nyawa kita seolah tertukar, Ma. Bagaikan bus yang berhenti di halte, seseorang yang naik digantikan seseorang turun. Saat itu, kau tidak bisa berbuat apa-apa. Namun, Ma, aku ingin sekali kau memarahiku atas kesalahanku. Menamparku pun masih kurang dari apa yang berhak kudapatkan.
Selimut tebal dan ruangan panas tidak dapat menghentikanku dari menggigil. Sungguh, dunia yang hangat ini kerap terasa sedingin es batu dalam freezer. Kedua kakiku menjadi kaku dan keras, rasanya seperti batu yang telah berjuta-juta tahun usianya.
Amarah. Mungkinkah itu yang kurasakan?
Aku tidak berniat menjawab suara hatiku itu, namun badanku berdiri tegak dengan sendirinya. Rasanya kepalan tangan tidak bisa membuatku diam. Saat ini, energi di keseluruhan ototku terasa lebih kuat berpuluh-puluh kali lipat. Ruangan yang sudah panas itu menjadi tambah membara, membuat peluh meluncur di dahi dan leherku. Tubuh kecilku bergetar hebat.
Aku menatap cicak dipojok kamar mungil berdekor merah muda tersebut. Ia segera kabur saat sadar kupelototi, dan aku pun merasa diriku lebih menjijikan darinya. Suara-suara si cicak yang terdengar samar membuatku tambah ingin melonjak. Kau meledekku, cicak?
Kakiku berlari keluar kamar dan menuju dapur. Kak Lea masih sibuk menyusun alat-alat agar rapi dan terorganisir. Susunan yang tadinya sudah rapi, namun kuacak semuanya. Ah, tadi kan hanya piring dan talenan. Kini, aku ingin mengacak seluruh dunia.
Dingin dan keras. Pisau mengkilap menjadi tontonan yang mengasyikkan bagiku. Apalagi, Kak Lea tampak panik saat si besi cantik tersebut menyentuh dagunya. Ya, anak cantik tersebut ingin berteriak namun aku tahu ia tidak berani. Mata yang biasanya mencibir, kini tampak memelas memohon belas kasihan. Persis kucing liar yang meminta semangkuk susu hangat.
"Quina." Kak Lea berucap lirih, sembari menengok ke kiri dan ke kanan memohon pertolongan. Rumah ini memang sudah lama hanya ditinggali kami berdua, jadi aku sama sekali tidak khawatir dia akan memberontak. Siapa lagi yang bisa diharapkan di rumah ini? Cicak? Kecoa?
Hatiku sudah tidak merasakan iba lagi, walaupun wajah cantik Kak Lea menjadi merah dan tubuhnya mulai sempoyongan. Aku membawanya ke pojokan tembok. Ia mengangkat kedua tangan lentiknya, dan menubrukan diri di dinding berwarna putih susu tersebut. Ia menaruh wajahnya menyentuh tekstur keras si tembok tersebut. Kak Lea menarik napas panjang dan berusaha berdiri tegak, walaupun kedua kakinya sudah kehilangan pondasi. "Apakah ini yang kau mau, Qui?"
Langit mulai menjadi gelap, aku bisa melihatnya melalui gorden kuning yang cukup transparan. Hawa dingin mulai menusuk, namun aku tidak peduli. Diriku cukup menyukai kekejaman ini. Aku yakin, sebetulnya diriku sudah lama menantikan ini. Inilah pesta yang sudah kutunggu-tunggu sedari dulu. Menurutku, Mama juga pasti mengerti keadaanku. Kalaupun ia dari surga keberatan melihatku seperti ini, aku sudah tidak peduli lagi. Dunia sudah cukup keras, dan kini saatnya aku berbalik bertindak keras. Bibirku mulai membentuk senyum teraneh yang pernah kubuat. Sedikit tertahan, namun menyenangkan. "Aku sudah menunggu-nunggu situasi ini sedari dulu, Kak."
"Betulkah kau ingin menyamakan dirimu dengan tong sampah?" Kak Lea sudah tidak gemetar lagi. Malah, ia berani-berani menatap mukaku. Kedua matanya kembali sengak, sama seperti Kak Lea yang biasanya membuang masakan dan hadiah-hadiahku untuknya. Rasanya, badanku menjadi semakin panas dan ingin cepat-cepat menghabiskan si gadis serba sempurna itu.
Aku menengok kepada si keranjang sampah mungil yang ternyata kini berada di sebelah kananku. Nasi goreng buangan yang kuracik masih bertengger manis disitu. Pisau ditanganku mendadak terasa keji, dan malah membuat tanganku gemetar. Dasar, bahkan tanganku masih mengkhianatiku pada saat-saat seperti ini. Ia memang tidak bisa berkoordinasi dengan hati dan pikiranku.
Kesal.
"Akukah yang selalu menghantui mimpi burukmu?" Kak Lea mendorong tanganku yang menjadi lemah, dan melepaskan pisau dari genggamanku. Ia menatapku dan menghapus air mata yang ternyata mulai tidak bisa ditahannya. Kedua mata sipit manisnya menjadi merah dan bengkak. Kak Lea menaruh pisau tersebut di meja dapur sebelahnya dan menggenggam kedua tanganku. Tangan gadis itu dingin, dan aku merasakannya gemetar hebat.
Hatiku tidak tahan lagi. Aku menggenggam pisau sayur tadi, kemudian melemparnya ke tong sampah yang dari tadi seolah memintaku untuk melakukannya. Entah mengapa, aku melakukannya. Kalimat itu kembali berputar dalam memoriku.
Ya sudahlah.
Jangkrik mulai berbunyi mengumandangkan lagu andalannya. Sementara, Kak Lea tersenyum di sela-sela isakan pelan yang mengilukan. Ia merangkulku keluar dari dapur yang sudah mulai dipenuhi nyamuk tersebut. Malam memang terlalu dingin untuk dihabiskan didapur, kurasa ia juga setuju mengenai hal itu. Aku menoleh ke belakang saat diriku dan Kak Lea hampir meninggalkan dapur dan menutup pintu geser, untuk terakhir kalinya aku menatap si pisau dapur dalam tong sampah yang seolah meledekku dan menjulurkan lidah sembari menertawakan sosokku.
Ia seolah-olah berkata, mengapa kau gagal lagi?
Comments
Post a Comment