Orang-orang yang berkerumun di pintu gerbang mendadak saling menikung penuh energy saat pintu raksasa tersebut dibuka. Para penjaga yang sudah siap didalam memeriksa tiket setiap orang untuk memastikan tidak ada kecurangan dalam pelaksanaan konser musik klasik tersebut. Aku dan Carlos ikut menyodorkan tiket yang diberikan Gino kemarin harinya secara gratis. Aku sudah memaksa untuk membayar, namun Gino keras kepala dan menganggapnya sebagai dukungan untuk dirinya. Biar nggak terlalu gugup, katanya. Padahal kalau aku jadi dia, aku akan tambah nervous jika dilihat oleh orang-orang yang kukenal. Namun sekali lagi, aku tahu Gino berbeda dan aku cukup menyukai perbedaan tersebut. Ups.
Sore itu sebetulnya menjadi panas dikarenakan ramainya orang-orang, namun aku tetap berusaha menikmati angin sepoi-sepoi. Tubuhku yang dibalut oleh kaos berlengan panjang berwarna merah muda cukup merasa adem, dan sebetulnya deg-degan juga. Perasaanku yang malang kini menjadi makin tidak karuan mengingat aku akan melihat Gino bermain klasik. Si anak berseragam berantakan yang akan menjadi sosok berbeda akan kusaksikan malam ini juga. Ya ampun, perutku geli tak karuan akibat terlalu memikirkannya. Bagaimana jika ternyata ia menggunakan gel pada rambutnya, kemudian aku akan semakin mengaguminya? Apa yang akan terjadi pada rencana belajar bareng kami selanjutnya, aku tidak akan bisa duduk dihadapannya secara normal lagi!
“Kel.” Carlos mencolekku, ia menatap orang-orang di kiri dan kanan dengan gelisah. Padahal sebelum berangkat aku sempat mengingatkannya untuk melakukan terapi napas yang diajarkan Kak Rina, sang psikolog yang nggak pernah bosan untuk mendengarkan cerita Carlos. Beliau juga menganjurkan tips-tips berguna saat menghadapi kepanikan, dan manfaatnya terasa sampai pada aku juga. Carlos sudah akrab dengan beliau dan keduanya semakin akrab. Ya, aku akui Carlos sudah sedikit mendingan karena tahu cara mengatasi pemikiran-pemikiran anehnya. “Cepat yuk cari tempat di dalam, aku takut para penguntitku akan menemui aku.”
“Iya, kita harus cari tempat duduk kosong dulu.” Aku dan kakakku yang menggunakan kemeja berlengan panjang berwarna hitam saat ini bergegas masuk melalui lorong-lorong dingin yang dijaga ketat. Saat melihat kiri kanan, aku bisa melihat pigura-pigura yang berisi foto dan artikel-artikel koran bersejarah mengenai tempat konser ini. Gedung tersebut megah dan didominasi warna putih, aku menyukai nuansa klasik dan jaman dulu yang sepertinya memang sudah dikonsepkan. Karpet merah yang selalu kami injak dari suatu ruangan menuju ruangan lainnya menjadi ciri khas yang sangat menyenangkan. Aku menggandeng Carlos yang sepertinya sedang berpikir tak karuan mengenai dirinya yang akan dibunuh. “Ke arah sana, Los.”
“Wah!” Kami masuk ke dalam sebuah ruangan yang diawasi lagi oleh dua orang penjaga berseragam hitam, kemudian dengan noraknya melihat sekeliling. Luas sekali! Sepertinya suara-suara dengan mudahnya akan menggema ke sekujur ruangan. Diatas banyak balkon-balkon serba guna, dan panggung besar di hadapan kursi-kursi merah kami masih ditutup tirai merah. Dinding-dinding yang berwarna hitam membuatku menganggapnya semakin keren. Carlos melupakan sejenak tentang kepanikannya, ia tersenyum mengamati sekitarnya. Andai saja rumah kami juga semegah ini!
“Sepertinya sudah mau mulai, Kel.” Carlos menunjuk kursi-kursi yang mulai dipenuhi pengunjung. Oh iya, bukan kami saja yang terlihat keren saat itu. Ibu-ibu, bapak-bapak, dan para muda-mudi di sekeliling kami juga mengenakan setelan formal. Gaun biru sepanjang kaki, rok berenda panjang berwarna krem, bahkan tak jarang terlihat lelaki yang mengenakan setelan jas hitam-putih. Suasana terlihat seperti sebuah pesta dansa pada masa-masa dahulu. Astaga, indah sekali rasanya. Dalam hati, aku berterima kasih karena Tuhan sudah mempertemukanku dengan Gino dan membuatku dapat merasakan perasaan aneh sejenis ini. Aku melihat jam tangan pink di tangan kiriku dan melihat jam yang tertera. 18.58. Baiklah, pertunjukan akan segera mulai karena ternyata lampu-lampu sudah diremangkan. Aku duduk tegak, menepuk tangan Carlos yang gugup di sebelahku. “Nikmatin pertunjukkannya aja ya, Los.”
Tirai terbuka, menunjukan para pemusik yang sudah siap di kursi-kursi panjang ditengah panggung. Terlihat seorang bapak yang maju ke depan dan menunduk memberi hormat kepada penonton. Ia pun mengenakan setelan jas, walaupun warnanya berbeda sendiri dari pemusik-pemusik di belakangnya. Jas yang ia kenakan abu-abu berkilau. Tak lupa pula sebuah dasi berwarna merah yang melengkapi penampilannya malam itu. Mataku berlari sekeliling dan akhirnya menemukan apa yang ia cari. Seorang pria dalam setelan jas hitam yang terlihat senang, dan rapi. Gino!
Para pemusik mulai bermain mengikuti aba-aba sang kondektur di hadapan mereka. Aku menikmati emosi dalam permainan musik yang dimainkan. Harmoni-harmoni pada awalnya pelan, dan apa adanya. Membuatku merasa hilang dalam duniaku sejenak. Aku menatap Gino pada bagian piano pojok. Kedua tangan lentiknya menciptakan nada-nada rendah yang berat. Aku terhanyut dan akhirnya malah fokus memerhatikannya. Kacamata yang menemaninya tetap ada, namun ada sebuah pesona yang berbeda. Susah untuk mendeskripsikan jiwaku yang berdesir-desir saat ia mulai memainkan harmoni penuh energi. Lagu-lagu klasik tersebut seolah mempunyai nyawa setiap aku melihat Gino memberikan keseluruhan dirinya dalam permainan musiknya tersebut. Dalam hati, aku berdoa agar Gino selalu merasa sebahagia ini, pada saat ia mengalami harmoni dalam nada-nada yang ia mainkan.
“Ehm.” Carlos ternyata mencolek pundakku yang sudah diam terbeku untuk entah berapa lama. Kakakku itu membawaku kembali dari dunia lamunan, yang kuakui lebih indah dari kenyataan. Ternyata, sedari tadi mataku terpaku bengong pada Gino, sang teman sekolah yang kusukai. Ia nyengir usil melihatku yang semakin salah tingkah. Carlos terkekeh pelan, melihatku yang cemberut diledek seperti itu. “Nggak apa-apa kok, asal jangan sampai kesambet saja.”
Senyumku tersungging kembali saat Gino memulai lagu Canon in D-nya sendirian, sebelum diikuti oleh pianis-pianis pengiring lainnya. Aku mengagumi tubuhnya yang seperti hanyut dan bergoyang ke kiri dan ke kanan seiring dengan perasaan yang ingin harmoni tersebut sampaikan. Sesekali Gino tersenyum dan sesekali ia mengernyit. Terkadang ia terlihat sendu, dan terkadang pula ia terlihat berkobar-kobar. Gino, aku betul-betul berharap kamu bisa menjadi sebahagia itu setiap harinya.
**
“Makasih ya, Kelly dan Kak Carlos.” Gino tersenyum ramah sambil meminum jus jeruk yang telah kami pesan sebelumnya. Ia sudah melepaskan jas hitamnya, namun masih mengenakan kemeja putih berlengan panjangnya dan celana kain berwarna hitam yang sedikit kebesaran namun masih proporsional. Gino terlihat senang saat pasta-pasta pesanan sudah mulai berdatangan satu per satu, ia tersenyum kecil. “Kalian sudah bela-belain naik taksi ke sini, padahal nggak dekat juga.”
“Justru kami yang harus bilang terima kasih.” Ujarku pelan, merasa berhutang budi. Aku sudah melepaskan kunciran rambut yang sedari tadi kumiliki, kini rambut sebahuku terurai dengan sedikit gelombang-gelombang hasil kunciran kuda tersebut. “Kalau nggak ada kamu, No, kayaknya kami nggak bakalan kebayang gimana rasanya nonton konser musik.”
“Sama-sama, gue juga senang bisa sama orang-orang yang mendukung gue.” Ujar Gino yang kini tampak sedih. Aku pun mengingat kembali sepasang suami istri paruh baya yang tampak anggun dan tegas. Kedua orang tua Gino tersebut tadi datang dan mengenakan pakaian formal yang sangat mewah dan berkilau, yang ternyata membuat mereka menjadi tontonan juga. Saat Gino menghampiri mereka usai konser, mereka tidak merespon Gino dengan acungan jempol. Malah, mereka menyarankan Gino untuk jangan sering-sering membuang waktu untuk hobi-hobi yang tidak terlalu bermanfaat. Aku ingat betul mata dan raut sedih Gino saat keduanya pamit pulang duluan, walaupun Gino sudah mengajak mama dan papanya untuk makan malam bersama. Aku sedih saat mendengar mereka yang masih mempunyai janji bisnis dengan kenalan mereka dari luar negeri. Gino menepuk pundakku pelan. “Thanks ya, Kel.”
Setelah kedua orang tua Gino pergi, kami bertiga pun memutuskan untuk makan di restoran bergaya kebaratan tak jauh dari gedung konser tersebut. Suasana di restoran lebih kasual dari gedung konser, walaupun sama-sama bergaya jaman dulu. Dinding-dinding sekitar dibuat bercorak kertas tua, namun terdapat pigura-pigura berisikan lukisan-lukisan Eropa yang berwarna-warni. Bahkan, aku juga mengagumi lampu-lampu bermodel sangkar burung di atasku. Sangat inovatif dan kreatif, berpikir melampaui batas. Seandainya saja bisa, aku juga ingin menghasilkan sebuah karya, entah bagaimana caranya. Kembali dari lamunanku, aku mendecak usil sambil nyengir saat melihat kemeja Carlos yang belepetan saos spageti. Gino pun refleks mengambilkan napkin dan memberikannya pada kakakku itu. “Nggak apa-apa, Kak Carlos. Jangan tegang gitu, Kak!”
“Kamu deg-degan nggak, Gin?” Aku bertanya di saat kami sudah hening, tenggelam dalam kenikmatan hidangan pasta panas kami masing-masing. Kami bertiga memilih menu yang berbeda-beda. Aku mengambil penne carbonara, Carlos memilih spageti bolognaise, sementara Gino memutuskan untuk memakan lasagna saja. Tekstur lembut yang disertai bumbu yang hangat dimulut membuatku sangat menyukai makanan-makanan jenis ini. Aku menatap Gino yang meletakkan sendoknya dan berusaha untuk mengunyah habis keju leleh didalam mulutnya, pipinya yang menggembung tampak imut sekali. “Lumayan, tapi cuman menit-menit pertama doing. Setelah itu gue udah bisa mengontrol nervous itu.”
“Ngomong-ngomong,” ujar Gino yang membuat aku dan Carlos memberikannya perhatian seutuhnya. Suasana restoran cukup ramai namun untungnya masih nyaman untuk bercakap-cakap intim seperti ini. “Lo keren deh kalau rambut lo lagi nggak di kuncir kuda.”
“Eh,” Wush, panas dari kakiku langsung naik ke kepala seketika. Senyum yang tersungging di wajahku semakin tidak terkontrol. Aku yang saat ini tidak mengenakan polesan make up apapun mendadak menjadi rendah diri, mencari tahu apakah ada yang salah di hidungku ataupun jidatku. Duh.
“Cantik.” Ujar Gino sambil mengedipkan sebelah matanya, meninggalkan aku yang semakin tidak karuan. Carlos tampaknya tidak peduli dengan apa yang terjadi antar kami berdua, ia hanya mengangkat bahu cuek walaupun aku tahu anak itu sedikit menahan tawa. Kakakku ini senang sekali tertawa diatas penderitaan orang lain. Aku pun sadar aku belum memberi respon apapun, dan kemudian kebingungan. Astaga Kelly, berhentilah menjadi gugup! Aku menarik napas panjang dan menghentikan jariku yang ternyata sedari tadi menjadi mengetuk-ngetuk meja. “Umm.. Makasih loh, Gin.”
“Habis ini gue antar kalian berdua pulang, ya. Gue bawa mobil kok, jadi lo pada nggak perlu naik taksi lagi.” Ucap Gino, membuat Carlos mengangguk berterima kasih. Kedua lelaki tersebut kini sibuk berbicara tentang masalah kemacetan lalu lintas, sementara pikiranku mengawang entah kemana. Aku memikirkan sang bocah berkacamata dengan kemeja berantakan yang kini menjadi teman belajar barengku, berperan ganda pula sebagai teman berceritaku. Gino..
**
“Kalian habis dari mana?” ujar Papa saat aku dan Carlos masuk ke dalam rumah malam itu, walaupun kami sudah berusaha melakukannya dengan kegaduhan sesedikit mungkin. Mama dan Papa keduanya duduk di ruang tamu sambil menyalakan televise yang seperti biasa hanya menjadi peramai suasana. Volum yang diatur pun hanya pelan-pelan sehingga tidak memungkinkan siapa saja menjadi penonton dengan perhatian penuh. Mama, yang seperti Papa, sudah mengenakan baju tidur longgar, beranjak berdiri dan mengambil tas-tas kami untuk dibereskan. Memang itulah kebiasaan beliau, sejak kami masih kanak-kanak. Papa meneguk air putih hangat yang ada di cangkir di meja di hadapannya. “Kok kalian tidak bilang bakal pulang semalam ini? Sudah jam setengah sepuluh malam, lho.”
“Maaf, Pa.” Carlos mulai bicara. Kami memang tidak izin bakal pulang semalam ini, yang kami ucapkan hanyalah pergi hingga sore. Aku dan Carlos kini memang sewajarnya merasa bersalah karena telah melanggar jam malam yang sudah disepakati bersama. Namun, kapan lagi bukan kami bisa menikmati musik klasik secara gratis dan menyenangkan. Kapan lagi pula kami bisa memberi dukungan pada seorang teman yang begitu ambisius dengan kegiatan bermusik kesukaannya. Carlos mengajak Mama duduk kembali, dan kini kami berempat duduk di sofa yang sudah ada sejak sebelum Carlos lahir. “Tadi kami diajak makan dulu oleh teman kami. Maafkan kami ya, Pa.”. “Lain kali kabarilah dulu.” Papa berceloteh agak kesal dan tetap berusaha membaca majalah walaupun lampu sudah remang. “Jangan bikin Papa dan Mamamu ini khawatir, dong.”
“Papa nggak apa-apa?” Aku bertanya melihat wajahnya yang lebih pucat dari biasa. Ia pun sedari tadi terbatuk-batuk dengan tidak wajar, yang membuatku menjadi khawatir. Papa menepuk-nepuk jidatnya yang sebetulnya terlihat baik-baik saja. Pria tersebut menarik napas panjang, membetulkan posisi duduknya sambil membalikkan lembar majalah walaupun aku tahu betul ia tidak fokus. “Papa tidak apa-apa, Nak. Hanya sedikit sakit kepala.”
“Pa.” Aku lagi-lagi mengumpulkan keberanian, mengingat hubungan orang tua anak yang sedikit menjauh akhir-akhir ini. Carlos dan Mama juga menatapku, walaupun Mama tidak berhenti menyeruput air putih. Cangkir mereka berdua memang bernilai besar karena Papa-lah yang memberikannya sepasang pada Mama pada kencan pertama mereka. “Nilai aku di sekolah sedikit pas-pasan. Namun akhir-akhir ini ada teman yang belajar bareng dan mendukungku.”
“Baguslah, Kel.” Sambung Mama yang akhirnya buka suara. Rambutnya dikuncir asal namun tidak memudarkan pesona hangat dan lembutnya. Aku terkadang merasa sedih belum bisa melakukan apa-apa yang membuat Mama bangga padaku. Bahkan sepertinya, kerjaanku hanya menyusahkan mereka melulu. Aku selalu bermimpi kapan aku bisa membawa mereka pada sebuah panggung yang membuat mereka bangga karena telah berhasil membesarkan aku. Baiklah, aku harus berjanji untuk melakukan yang terbaik untuk ujian nasionalku tahun depan. Mama mengelus pahaku lembut, memberikanku sebuah kehangatan yang menyenangkan. “Kalau itu positif, Mama dukung kok. Bertemanlah sebanyak-banyaknya, dan banyaklah belajar tentang apapun dari orang-orang.”
“Ma,” Papa akhirnya mulai berujar dengan nada berat. Aku tahu betul kalau Papa bernada seperti ini, itu artinya pria tersebut sedang serius. Super serius. Papa meminum air putih lagi dan mengeluarkan sebuah surat resep dokter. Tunggu, aku bahkan tidak tahu Papa tadi habis dari rumah sakit? Anak tidak berguna macam apa aku ini, aku pun mulai mengutuk diriku yang sering egois. “Papa sepertinya mulai tifus dan lemas.”
Kami mulai panik dan mengerumuni Papa. Carlos apalagi, anak itu pun bernegosiasi dan memaksa Papa yang terus menolak untuk dirawat di rumah sakit. Dasar Papa, orang itu memang terlalu sok kuat dan meremehkan bantuan orang lain. Carlos dan Mama akhirnya memutuskan untuk menculik paksa Papa yang sudah pusing sejak tadi pagi untuk dirawat di rumah sakit, sementara pandanganku terarah ke televisi. Pembawa acara di televisi sedang sibuk bercerita tentang kasus penyelewengan dana yang dilakukan Agung Hutama, pejabat ternama di Indonesia.
Astaga, aku butuh harmoni-harmoni sebelum aku pulang ke rumah. Mereka tadi adalah sebuah pelarian yang cukup oke untuk meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja. Ayo Kelly, keadaan saat ini kurang baik, tapi kau harus terus berlari.
Comments
Post a Comment