Skip to main content

Manjat tebing di Purwakarta, yuk!

Haiii,

jadi pagi ini aku terbangun dengan kaki pegal dan keras. Bukan karena aku habis ngeronda, tapi karena kemarin harinya aku manjat tebing. Iya, bukan memanjati dinding di dalam hatimu kok (?) #masihpagi

Awal mulanya aku bisa ikut pemanjatan tersebut itu karena ajakan teman-teman yang ikut Unit Kegiatan Mahasiswa pencinta alam di kampusku. Aku yang berhasil mendapatkan izin Mama setelah merengek-rengek menyebalkan pun langsung antusias. Kapan lagi bisa seru-seruan begini bareng teman-teman?

azek

Tempat tersebut bernama Tebing Parang, letaknya di Purwakarta. kalau dari Jakarta kemarin sih butuh waktu sekitar 3 jam untuk pergi. Perjalanan menggunakan busnya nggak seram kok, namun cukup berliku-liku. Agak mirip jalan ke Puncak, lho. Makanya, kalau saranku sih pagi-pagi makan dulu yah biar ada energi.

Penampakan tebing Parang dari kejauhan

 Sampai disana, kita bakal di sambut sama orang-orang yang udah bikin perjanjian pemanjatan sebelumnya. Sebelum naik dan bersiap-siap menggunakan alat-alat, kita bisa duduk santai di pendopo dulu. Seru loh suasananya, adem dan ternyata banyak hewan-hewan seperti marmot dan kukang. Kalau kata teman-teman seperjalanan, seperti menonton National Geographic Channel secara live. Betul juga sih, haha.

Duduk nyantai di pendopo
 
suasana hijau di sekitar pendopo

marmot, kukang, ayam peliharaan penduduk sekitar
 
Dari pendopo, kita pun diajak ke lokasi starting point melalui jalur-jalur di tengah pepohonan rindangnya. Setelah beres memakai helm dan harness, serta perlengkapan keamanan secara lengkap, kita bisa mulai memanjat tebing. Jangan lupa dengarkan briefing (jangan seperti aku yang telat datang :P) dari guide dulu, kemudian berdoa. Ingat, walaupun sudah dijamin aman, nasib kita tetap ada di tangan Tuhan.

Oh tahu nggak sih, aku sempat nyasar berduaan sama teman saat mencari toilet. Aku pun merasa seperti di film-film Hunger Games, dimana kita harus mencari jalan balik dan tidak tersasar di hutan belantara. Akhirnya ketemu juga sih meeting point-nya. Tipsnya adalah, ikuti jalan yang terlihat paling besar dan jangan coba-coba kabur sendirian tanpa ada yang tahu jalan.


Seperti yang dapat kalian lihat, ada tangga-tangga kecil yang harus kita tapaki. Setelah kucoba, tangganya kuat sekali! Terkadang ada jalur yang berat, ada jalur yang miring, ada jalur yang mengharuskan kita memikirkan strategi agar dapat menapaki dengan baik. Intinya, selama kita melaksanakan prosedur keamanan dan selalu menapaki tangga besi, kita nggak akan apa-apa. Dan juga, harus tetap berenergi untuk mendorong tubuh kita ke atas walaupun capek.

Prosedur keamanannya juga menggunakan klem, alat pengait yang harus kita cantolkan terus-terusan kepada pegangan baja di sebelah kanan dan kiri kita. Pertamanya sih aku takut, namun aku sadar kalau aku sendiri yang akan menentukan keamananku. Jangan panik, karena biasanya orang panik saat harus mencantolkan klem ke tali disebelahnya. Santai dan nikmati saja, kalau kata orang-orang yang memanjat di dekatku. Rasakan rasa takut dan lawan.

Prosedur keamanan harus diterapkan, walau saat duduk sekalipun

Setelah di ataspun, kita bisa bersantai dan mengambil banyak foto-foto dan selfie, asal tetap hati-hati ya! Kita bisa berjalan di atas batu-batu yang memang sudah dipastikan kuat dan beristirahat sejenak. Ada pula gua-gua kecil yang menjadi rest area kita. Kita akan terus diwanti-wanti untuk tidak melepaskan alat pengait, apapun yang terjadi. Karena, ingat, keselamatan kita bergantung pada alat-alat itu. Jangan sekali-kali lepaskan alat keamanan, karena sebetulnya kita bisa melepaskannya dengan mudah. Oleh karena itu, hati-hati.

Yuhuuu!

Di jalan kecil dimana kita bisa berjalan dan istirahat.
Sering dengar kan, analogi hidup dengan naik gunung? Kita perlu berjuang untuk naik ke atas, namun akan mendapatkan pemandangan yang indah tak terkira. Aku setuju dan kali ini aku telah mengalaminya langsung. Pemandangannya bagus, lho! Ada gunung dan waduk, beserta pulau-pulau kecilnya. Ditambah dengan kabut yang memburamkan pemandangan dari kejauhan, kita akan merasa tersentuh jika melihat langsung. Cantiknya!

Gunung, waduk, pulau, kabut, pohon
Nah, proses menuruni tebing ternyata tidak kalah luar biasanya dibandingkan naiknya. Ketegangan yang dirasakan dibarengi dengan kekaguman akan pemandangan dan kekaguman karena diri sendiri ternyata berhasil sampai ke tahap ini. Setelah turun menyusuri tangga, kita disuruh rappelling. Tahu nggak, dimana kita harus berdiri 90 derajat menghadap dinding dan turun kebawah sambil memegang tali dan menendang-nendang tebing? Takut tapi tidak terlupakan! Tips rappeling adalah, gunakan seluruh telapak kaki, jangan ujungnya saja untuk menghindari terpeleset.

Rappelling, diambil dari google.
Setelah rappelling, akhirnya pemanjatan selesai juga. Aku menarik napas lega saat memastikan aku sudah berada di daratan, kemudian duduk dan makan dengan nasi box yang telah disediakan panitia.. Kami pun melakukan perjalanan pulang setelahnya, disertai dengan pengalaman-pengalaman baru yang bisa diceritakan. Perjalanan balik diiringi hujan, namun untungnya tidak macet sehingga tidak telalu molor dari jam pulang estimasi awal. Akibat dingin dan nyaman, aku tidur di dalam bus. Asik sekali lho kalau beristirahat setelah kecapekan!

Jadi, kalau yang aku dapat dari pemanjatan ini adalah bahwa kita tidak bisa maju kemana-kemana kalau kita membiarkan rasa takut menguasai diri. Itu kerasa banget pada saat pemanjatan yang miring. Kalau kita takut dan nggak berani, ya kita nggak bisa turun juga. Kita mau kembali turun ke daratan, maka kita harus terus bergerak dan tidak menoleh ke bawah. Oke kan, seperti pelajaran hidup yang secara tidak langsung diajarkan alam.

Kalau ada yang ingin mencoba memanjat tebing, Tebing Parang di Purwakarta adalah salah satu rekomendasi tempatku.

Sip, see you!

 

Comments

Popular posts from this blog

Wicked always wins!

Hi semuanya! Wah, sudah lama sekali ya aku tidak mem- post di blog ini, sudah berdebu mungkin yah saking sudah lamanya tidak digunakan. Semoga keadaan kamu baik-baik saja, ya. Dalam tulisan kali ini, aku ingin melakukan review terhadap suatu aksi teater di Broadway yang legendaris sekali dan masih kugandrungi sampai sekarang. Hayo, sudah terpikirkan kah? Aku kasih clue , deh. Berkaitan dengan penyihir, warna hijau, monyet terbang... Ya, Wicked ! Aksi teater ini pertama dilaksanakan pada tahun 2003, dengan tokoh utama yaitu Glinda (Kristin Chenoweth) dan Elphaba (Idina Menzel). Wah, kalau yang main setingkat Kristin Chenoweth dan Idina Menzel, pastinya sudah tidak perlu diragukan lagi yah kualitas musikalnya. Glinda dan Elphaba adalah siswa baru di Shiz University, sebuah tempat belajar bagi penyihir-penyihir muda di Oz. Glinda digambarkan sebagai sosok gadis berambut pirang yang sangat populer di kalangan teman-temannya, sementara Elphaba adalah gadis kikuk, idealis, dan ditakuti se...

Dear, Me (and You)

          Pernahkah kamu mengecewakan dirimu sendiri, sahabat? Perasaan benci dan ketidakberanian yang begitu mengurungmu dalam sebuah sangkar baja, tidak memberimu kebebasan sejati.  Tidak, bukan saja merampas kebebasan, tetapi mereka jugalah yang menghentikan laju langkahmu. Keduanya membuatmu berjalan di tempat, berhenti, atau bahkan lebih parahnya lagi; berjalan ke belakang.  Sebetulnya, kamu juga harus menganalisa sebab dari penyiksaan diri tersebut. Sebuah ‘ekskresi’ yang harus dikeluarkan tanpa perlu diraih kembali. Bagaikan sang pangeran katak yang menanti kecupan sang putri, pegharapan yang terlalu tinggi bisa saja mencukai hatimu. Kemungkinan sebuah harapan hanyalah dua, entah itu akan membuat pipimu bersemu, ataulah ia akan memilukan hati cantikmu.  Jadi, kita tidak perlu melakukan yang terbaik? Bukan, aku tidak berkata demikian. Kenalilah potensi dan segala pesonamu. Menurutku, tida...

'Stranded' in The Netherlands

Hoi allemaal! Hoe gaat het met jou? Getting through something new or being that 'new thing' itself is never easy. How eyes look at us as something different might be hard to be unnoticed, and how people treat us differently, might as well be difficult. The Netherlands, well known as the land of the tulips, is something very far far away from my mind. I lived in Indonesia as a little toddler, all I thought was playing, sleeping, screaming, singing and dancing. Having the chance to live and study there, never ever crossed my mind before. Destiny cannot be denied. One day, my dad was asked to live there for a couple of years. First, it was very hard having a long distance father-and-daughter relationship. We went chatting through video chat, and I, as his little girl, always talked to him everything I thought of. We usually have the night prayer together through the video chat, and it was very rough that times. Years flied away; and afterwards, my dad invi...