Skip to main content

Let's fictively meet: Sigmund Freud

Halo, berhubung aku memang sedang tertarik pada tokoh-tokoh psikologi dan tokoh-tokoh fenomenal lainnya, akhirnya aku membuat hal-hal seperti ini dengan imajinasiku.  Sekalian menyicil untuk membuat ringkasan, tetap dengan cara yang fun dan mudah untuk kuingat. Oh ya, data-datanya diambil dari catatan dan penjelasan dosen-dosen psikologiku dan buku cetak yang kami pakai. Silahkan di nikmati, karena tulisan ini memang untuk bersenang-senang! :-)

---

 
 
Suasana kafe di dalam mal tersebut ramai saat aku melewati pintu besarnya. Restoran bergaya tradisional ini didominasi warna ungu yang cukup mentereng. Aku merasa cocok dan merasa tenang, apalagi dengan bangku-bangku unik berkonsep trisula, sebuah tombak bermata tiga yang menjadi simbol dari bidang psikologi. Ilmu tentang mental dan perilaku tersebut sebetulnya memiliki banyak tokoh fenomenal.  Lalu, sosokku langsung berdiri dan menyalami seorang bapak gagah yang ternyata sudah datang duluan. Wajahnya serius dan keras, namun teduh saat tersenyum. Kami berdua pun duduk dan mulai membuka buku menu. Saya pun memperkenalkan nama saya, Hanna. Sementara beliau merapikan jas, memberikan kertas pesanan kami kepada waiter dan mengangguk saat menyebut namanya sendiri. Sigmund Freud.

H: Sore, Pak Freud. Terima kasih karena mau datang menemuiku walaupun Bapak pasti sedang sibuk.

F: Tidak apa-apa, saya senang kok berbicara dan mendengarkan orang lain.

H: Bapak ini ya, senang sekali membuat teori dari pembicaraan. Sebagai psikolog, Bapak sudah banyak membuat teori dari konsultasi-konsultasi klien Pak Freud. Keren!

F: Tunggu, sebelumnya, aku ingin meralat pengucapan namaku. Dibacanya ‘Fro-id’ ya, bukan’ Fre-ud’. Hehe, aku sudah terlalu terbiasa dengan orang-orang yang salah menyebut.

H: Oh ya, maaf Pak. Maklum, aku tidak terbiasa menyebut nama asing. Nah, kenapa sih Bapak sempat masuk ke pendidikan kedokteran? Kalau aku tidak salah dengar, di Vienna Medical School ya?

F: Ini pertanyaan menarik, walaupun mungkin jawabanku kurang bisa memuaskan. Kamu percaya nggak kalau aku masuk kedokteran bukan untuk menyembuhkan orang, tapi untuk memuaskan rasa penasaranku karena manusia?
H: Jadi, tidak ada motif yang berhubungan dengan alasan medis ya?

F: Begitulah, aku memang penasaran akan manusia yang luar biasa kompleks. Aku bahkan sempat meneliti tentang tingkat-tingkat kesadaran manusia karena ternyata hal tersebut menjadi inti dari teoriku, psikoanalisis. Begitu banyak hal seru yang bisa diselidiki.

H: Kalau aku nggak salah ingat, psikoanalisis adalah analisa tentang pengaruh dorongan-dorongan yang tidak kita sadari terhadap diri kita yang sekarang? Misalnya nih, kita suka stress, cemas dan juga senang marah-marah sama orang lain. Dengan kata lain, agresi. Bagaimana pendapat  Pak Freud tentang ini?

F: Aku berpendapat bahwa manusia mempunyai tiga tingkatan kesadaran. Alam tidak sadar, alam bawah sadar, dan kesadaran. Semuanya bisa berefek ke tindakan dan cara berpikir kita, lagi-lagi secara tidak sadar. Pasti kamu sering dengar dong tentang istilah-istilahnya, dari acara hipnotis ataupun sumber-sumber lainnya?

H: Boleh dijelaskan lebih lanjut nggak, Pak? Aku masih belum ngeh.
F: Tentu saja. Alam tidak sadar itu berupa hal-hal yang tidak kita sadari. Misal nih, kita sebetulnya marah namun kita tidak tahu dan melampiaskannya melalui ngeledek orang lain, biar kita sendiri merasa lebih senang. Memang tidak terang-terangan dan bahkan tidak disadari diri sendiri, tapi kita sebetulnya marah. Kalau mengenai alam bawah sadar, misalnya begini. kamu ingat tadi di depan pintu ada patung putri duyung warna ungu tua?

H: Ingat dong, patungnya cantik sekali ya dengan berlian-berliannya!
F: Nah, kamu berhasil mengingatnya dengan baik. Padahal, ingatan tentang patung putri duyung tersebut hanya sekilas lewat dan istilahnya, nggak terlalu penting. Tapi kamu berhasil mengingatnya karena hal tersebut masuk ke alam bawah sadarmu. Begitu, Han.

H: Dan mengenai kesadaran, pasti seperti halnya aku sadar aku sedang berbicara dengan Bapak. Betul, kan?
F: Ya.Kamu bisa sadar sepenuhnya seperti ini karena informasi dari panca indramu. Telinga, matamu, semua bekerja untuk memproses kesadaranmu. Ngomong-ngomong, masuknya informasi ke kesadaran itu bagaikan rakyat yang ingin bertemu dengan sang raja, lho!

H: Oh ya?

F: Begini, anggap saja lah informasi yang ingin melewati ketidaksadaran bagaikan mau melewati pintu gerbang sebuah istana. Kemudian ia bertemu dengan penjaga pintu, disaring lagi ke ruang tamu, kemudian di seleksi oleh penjaga. Apakah orang ini layak bertemu sang raja? Setelah lolos seleksi seperti audisi Indonesian Idol, si informasi ini akan bertemu si raja ini di kesadaran.

H: Menarik sekali, Pak Freud! Bapak ini hebat sekali ya, selalu memikirkan hal-hal menarik dan menjadikannya nyata dalam aplikasi sehari-hari juga.

F: Nah, itu ada ego yang berperan. Ego, si pelaku tindakan nyata, yang mewujudkannya menjadi nyata. Tidak seperti Id, si penghasut dalam diri, dan si Superego si hati nurani. Oh, aku lupa menjelaskan kalau Id, ego, dan superego adalah elemen-elemen dalam alam pikiran manusia menurut teoriku. Ingat, pikiranmu tidak boleh didominasi superego lagi. Bisa-bisa kamu merasa bersalah terus-terusan.

H: Pak Freud tahu saja, haha. Tapi kalau pikiran yang didominasi Id seram juga ya, bisa bersenang-senang terus tanpa memikirkan orang lain. Egois.

F: Nah makanya, kalau kamu marah, lebih baik dimanfaatkan dalam bentuk nonjok-nonjok guling, atau disebut dengan istilah 'sublimasi'. Lebih oke kan?

H: Betul tuh, aku harus pandai memilih self defense mechanism yang tepat, ya. Kalau aku melampiaskan marahku dengan ngomel ke adikku, rasanya aku akan memperparah keadaan.

F: Iya nih, lebih baik kamu nari-nari atau karaoke.

H: By the way, Pak Freud, sepertinya Idku mulai mendominasiku dan menyuruhku untuk makan. Memang penghasut, nih. Perasaan yang mendorong untuk makan. Haha, kruyuk-kruyuk perutku.

F: Namanya juga Id, si pemenuh kesenangan. Tuh, pas banget ayam bakar kita sudah datang. Yuk, dimakan dulu . Nice talk, ya!

 Kami masih berbincang mengenai hal-hal menarik lainnya, namun Pak Freud harus izin duluan beberapa saat kemudian karena ada urusan. Ia menitipkan sebuah lembar lima puluh ribuan untuk berpatungan denganku. Aku mengangguk, ia memakai topinya kembali dan pamit. Beliau memang sosok pioneer dalam psikologi yang mengagumkan. Beragam teorinya, mulai dari teori gunung es hingga tahap-tahap perkembangan pola pikir anak menuntun peneliti untuk mencari tahu lebih jauh dan menemukan topik-topik lainnya. Aku pun melanjutkan makanku sendiri, sembari mencerna semua ilmu yang telah ia berikan selama makan sore tadi. Namun tiba-tiba aku berhenti mengunyah. Aku meletakkan sendokku dan berpikir, jangan-jangan ia sedari tadi mengobservasi gerak-gerik dan cara berbicaraku. Akankah muncul sebuah teori baru akibat percakapan ini?Entahlah, psikolog tersebut memang sosok yang misterius namun kece.

 

 

 

Comments

Popular posts from this blog

Wicked always wins!

Hi semuanya! Wah, sudah lama sekali ya aku tidak mem- post di blog ini, sudah berdebu mungkin yah saking sudah lamanya tidak digunakan. Semoga keadaan kamu baik-baik saja, ya. Dalam tulisan kali ini, aku ingin melakukan review terhadap suatu aksi teater di Broadway yang legendaris sekali dan masih kugandrungi sampai sekarang. Hayo, sudah terpikirkan kah? Aku kasih clue , deh. Berkaitan dengan penyihir, warna hijau, monyet terbang... Ya, Wicked ! Aksi teater ini pertama dilaksanakan pada tahun 2003, dengan tokoh utama yaitu Glinda (Kristin Chenoweth) dan Elphaba (Idina Menzel). Wah, kalau yang main setingkat Kristin Chenoweth dan Idina Menzel, pastinya sudah tidak perlu diragukan lagi yah kualitas musikalnya. Glinda dan Elphaba adalah siswa baru di Shiz University, sebuah tempat belajar bagi penyihir-penyihir muda di Oz. Glinda digambarkan sebagai sosok gadis berambut pirang yang sangat populer di kalangan teman-temannya, sementara Elphaba adalah gadis kikuk, idealis, dan ditakuti se...

Dear, Me (and You)

          Pernahkah kamu mengecewakan dirimu sendiri, sahabat? Perasaan benci dan ketidakberanian yang begitu mengurungmu dalam sebuah sangkar baja, tidak memberimu kebebasan sejati.  Tidak, bukan saja merampas kebebasan, tetapi mereka jugalah yang menghentikan laju langkahmu. Keduanya membuatmu berjalan di tempat, berhenti, atau bahkan lebih parahnya lagi; berjalan ke belakang.  Sebetulnya, kamu juga harus menganalisa sebab dari penyiksaan diri tersebut. Sebuah ‘ekskresi’ yang harus dikeluarkan tanpa perlu diraih kembali. Bagaikan sang pangeran katak yang menanti kecupan sang putri, pegharapan yang terlalu tinggi bisa saja mencukai hatimu. Kemungkinan sebuah harapan hanyalah dua, entah itu akan membuat pipimu bersemu, ataulah ia akan memilukan hati cantikmu.  Jadi, kita tidak perlu melakukan yang terbaik? Bukan, aku tidak berkata demikian. Kenalilah potensi dan segala pesonamu. Menurutku, tida...

'Stranded' in The Netherlands

Hoi allemaal! Hoe gaat het met jou? Getting through something new or being that 'new thing' itself is never easy. How eyes look at us as something different might be hard to be unnoticed, and how people treat us differently, might as well be difficult. The Netherlands, well known as the land of the tulips, is something very far far away from my mind. I lived in Indonesia as a little toddler, all I thought was playing, sleeping, screaming, singing and dancing. Having the chance to live and study there, never ever crossed my mind before. Destiny cannot be denied. One day, my dad was asked to live there for a couple of years. First, it was very hard having a long distance father-and-daughter relationship. We went chatting through video chat, and I, as his little girl, always talked to him everything I thought of. We usually have the night prayer together through the video chat, and it was very rough that times. Years flied away; and afterwards, my dad invi...