Halo, berhubung aku memang sedang tertarik pada tokoh-tokoh
psikologi dan tokoh-tokoh fenomenal lainnya, akhirnya aku membuat hal-hal
seperti ini dengan imajinasiku. Sekalian
menyicil untuk membuat ringkasan, tetap dengan cara yang fun dan mudah untuk kuingat. Oh ya, data-datanya diambil dari
catatan dan penjelasan dosen-dosen psikologiku dan buku cetak yang kami pakai. Silahkan di
nikmati, karena tulisan ini memang untuk bersenang-senang! :-)
F: Begitulah, aku memang penasaran akan manusia yang luar biasa kompleks. Aku bahkan sempat meneliti tentang tingkat-tingkat kesadaran manusia karena ternyata hal tersebut menjadi inti dari teoriku, psikoanalisis. Begitu banyak hal seru yang bisa diselidiki.
H: Kalau aku nggak salah ingat, psikoanalisis adalah analisa tentang pengaruh dorongan-dorongan yang tidak kita sadari terhadap diri kita yang sekarang? Misalnya nih, kita suka stress, cemas dan juga senang marah-marah sama orang lain. Dengan kata lain, agresi. Bagaimana pendapat Pak Freud tentang ini?
F: Aku berpendapat bahwa manusia mempunyai tiga tingkatan kesadaran. Alam tidak sadar, alam bawah sadar, dan kesadaran. Semuanya bisa berefek ke tindakan dan cara berpikir kita, lagi-lagi secara tidak sadar. Pasti kamu sering dengar dong tentang istilah-istilahnya, dari acara hipnotis ataupun sumber-sumber lainnya?
H: Oh ya?
Kami masih berbincang mengenai hal-hal menarik lainnya,
namun Pak Freud harus izin duluan beberapa saat kemudian karena ada urusan. Ia menitipkan sebuah
lembar lima puluh ribuan untuk berpatungan denganku. Aku mengangguk, ia memakai
topinya kembali dan pamit. Beliau memang sosok pioneer dalam psikologi yang
mengagumkan. Beragam teorinya, mulai dari teori gunung es hingga tahap-tahap perkembangan pola pikir anak menuntun peneliti untuk mencari tahu lebih jauh dan menemukan topik-topik lainnya. Aku pun melanjutkan makanku sendiri, sembari mencerna semua ilmu
yang telah ia berikan selama makan sore tadi. Namun tiba-tiba aku berhenti mengunyah. Aku meletakkan sendokku dan berpikir, jangan-jangan ia sedari
tadi mengobservasi gerak-gerik dan cara berbicaraku. Akankah muncul sebuah teori baru akibat percakapan ini?Entahlah, psikolog tersebut memang
sosok yang misterius namun kece.
---
Suasana kafe di dalam mal tersebut ramai saat aku melewati pintu besarnya.
Restoran bergaya tradisional ini didominasi warna ungu yang cukup mentereng.
Aku merasa cocok dan merasa tenang, apalagi dengan bangku-bangku unik berkonsep
trisula, sebuah tombak bermata tiga yang menjadi simbol dari bidang psikologi.
Ilmu tentang mental dan perilaku tersebut sebetulnya memiliki banyak tokoh
fenomenal. Lalu, sosokku langsung berdiri
dan menyalami seorang bapak gagah yang ternyata sudah datang duluan. Wajahnya
serius dan keras, namun teduh saat tersenyum. Kami berdua pun duduk dan mulai
membuka buku menu. Saya pun memperkenalkan nama saya, Hanna. Sementara beliau
merapikan jas, memberikan kertas pesanan kami kepada waiter dan mengangguk saat menyebut namanya sendiri. Sigmund Freud.
H: Sore, Pak Freud. Terima kasih karena mau datang menemuiku
walaupun Bapak pasti sedang sibuk.
F: Tidak apa-apa, saya senang kok berbicara dan mendengarkan
orang lain.
H: Bapak ini ya, senang sekali membuat teori dari
pembicaraan. Sebagai psikolog, Bapak sudah banyak membuat teori dari
konsultasi-konsultasi klien Pak Freud. Keren!
F: Tunggu, sebelumnya, aku ingin meralat pengucapan namaku.
Dibacanya ‘Fro-id’ ya, bukan’ Fre-ud’. Hehe, aku sudah terlalu terbiasa dengan
orang-orang yang salah menyebut.
H: Oh ya, maaf Pak. Maklum, aku tidak terbiasa menyebut nama
asing. Nah, kenapa sih Bapak sempat masuk ke pendidikan kedokteran? Kalau aku
tidak salah dengar, di Vienna Medical School ya?
F: Ini pertanyaan menarik, walaupun mungkin jawabanku kurang bisa memuaskan. Kamu percaya nggak kalau aku masuk kedokteran bukan untuk menyembuhkan orang, tapi untuk memuaskan rasa penasaranku karena manusia?
H: Jadi, tidak ada motif yang berhubungan dengan alasan
medis ya?F: Ini pertanyaan menarik, walaupun mungkin jawabanku kurang bisa memuaskan. Kamu percaya nggak kalau aku masuk kedokteran bukan untuk menyembuhkan orang, tapi untuk memuaskan rasa penasaranku karena manusia?
F: Begitulah, aku memang penasaran akan manusia yang luar biasa kompleks. Aku bahkan sempat meneliti tentang tingkat-tingkat kesadaran manusia karena ternyata hal tersebut menjadi inti dari teoriku, psikoanalisis. Begitu banyak hal seru yang bisa diselidiki.
H: Kalau aku nggak salah ingat, psikoanalisis adalah analisa tentang pengaruh dorongan-dorongan yang tidak kita sadari terhadap diri kita yang sekarang? Misalnya nih, kita suka stress, cemas dan juga senang marah-marah sama orang lain. Dengan kata lain, agresi. Bagaimana pendapat Pak Freud tentang ini?
F: Aku berpendapat bahwa manusia mempunyai tiga tingkatan kesadaran. Alam tidak sadar, alam bawah sadar, dan kesadaran. Semuanya bisa berefek ke tindakan dan cara berpikir kita, lagi-lagi secara tidak sadar. Pasti kamu sering dengar dong tentang istilah-istilahnya, dari acara hipnotis ataupun sumber-sumber lainnya?
H: Boleh dijelaskan lebih lanjut nggak, Pak? Aku masih belum
ngeh.
F: Tentu saja. Alam tidak sadar itu berupa hal-hal yang
tidak kita sadari. Misal nih, kita sebetulnya marah namun kita tidak tahu dan
melampiaskannya melalui ngeledek orang lain, biar kita sendiri merasa lebih senang. Memang tidak terang-terangan dan
bahkan tidak disadari diri sendiri, tapi kita sebetulnya marah. Kalau mengenai alam bawah sadar, misalnya
begini. kamu ingat tadi di depan pintu ada patung putri duyung warna ungu tua?
H: Ingat dong, patungnya cantik sekali ya dengan
berlian-berliannya!
F: Nah, kamu berhasil mengingatnya dengan baik. Padahal,
ingatan tentang patung putri duyung tersebut hanya sekilas lewat dan
istilahnya, nggak terlalu penting. Tapi kamu berhasil mengingatnya karena hal
tersebut masuk ke alam bawah sadarmu. Begitu, Han.
H: Dan mengenai kesadaran, pasti seperti halnya aku sadar
aku sedang berbicara dengan Bapak. Betul, kan?
F: Ya.Kamu bisa sadar sepenuhnya seperti ini karena informasi
dari panca indramu. Telinga, matamu, semua bekerja untuk memproses kesadaranmu.
Ngomong-ngomong, masuknya informasi ke kesadaran itu bagaikan rakyat yang ingin
bertemu dengan sang raja, lho!H: Oh ya?
F: Begini, anggap saja lah informasi yang ingin melewati
ketidaksadaran bagaikan mau melewati pintu gerbang sebuah istana. Kemudian ia
bertemu dengan penjaga pintu, disaring lagi ke ruang tamu, kemudian di seleksi
oleh penjaga. Apakah orang ini layak bertemu sang raja? Setelah lolos seleksi
seperti audisi Indonesian Idol, si informasi ini akan bertemu si raja ini di
kesadaran.
H: Menarik sekali, Pak Freud! Bapak ini hebat sekali ya,
selalu memikirkan hal-hal menarik dan menjadikannya nyata dalam aplikasi
sehari-hari juga.
F: Nah, itu ada ego yang berperan. Ego, si pelaku tindakan
nyata, yang mewujudkannya menjadi nyata. Tidak seperti Id, si penghasut dalam
diri, dan si Superego si hati nurani. Oh, aku lupa menjelaskan kalau Id, ego,
dan superego adalah elemen-elemen dalam alam pikiran manusia menurut teoriku.
Ingat, pikiranmu tidak boleh didominasi superego lagi. Bisa-bisa kamu merasa
bersalah terus-terusan.
H: Pak Freud tahu saja, haha. Tapi kalau pikiran yang
didominasi Id seram juga ya, bisa bersenang-senang terus tanpa memikirkan orang
lain. Egois.
F: Nah makanya, kalau kamu marah, lebih baik dimanfaatkan
dalam bentuk nonjok-nonjok guling, atau disebut dengan istilah 'sublimasi'. Lebih oke kan?
H: Betul tuh, aku harus pandai memilih self defense mechanism yang tepat, ya. Kalau aku melampiaskan
marahku dengan ngomel ke adikku, rasanya aku akan memperparah keadaan.
F: Iya nih, lebih baik kamu nari-nari atau karaoke.
H: By the way, Pak Freud, sepertinya Idku mulai mendominasiku dan
menyuruhku untuk makan. Memang penghasut, nih. Perasaan yang mendorong untuk
makan. Haha, kruyuk-kruyuk perutku.
F: Namanya juga Id, si pemenuh kesenangan. Tuh, pas banget
ayam bakar kita sudah datang. Yuk, dimakan dulu . Nice talk, ya!
Comments
Post a Comment