Tanpa sadar, setitik air mata tidak berhasil bertahan setelah mereka membalikkan badannya. Lelaki itu menggandeng Rena, sahabat sejak sekolah dasarku. Mereka berdua tersenyum, Rena terlihat cantik dengan lesung pipinya yang muncul saat Leo memberikan sekuntum bunga beberapa waktu sebelumnya. Keduanya berpelukkan pada senja yang tidak panas tersebut sembari menatap keindahan langit yang ingin menyambut sang rembulan. Warna kemerahan yang mengelilingi kami menciptakan siluet-siluet hitam yang luar biasa cantik. Pada saat yang bersamaan, aku hanya bisa mengacungkan jempol pada Leo. Cowok berpostur tinggi tersebut menganggukkan kepalanya, berterima kasih atas aku yang bersedia menjadi mak comblang selama beberapa bulan terakhir ini. Tidak, aku tahu aku tidak boleh cemburu begini.
Restoran di tepi gunung tersebut sepi dan tenang. Aku, si cewek kutu buku yang sedang berusaha kerja part time, duduk mojok sendirian dengan seragam restoran yang didominasi warna biru. Aku pun teringat pada Mama yang bangga melihat tekadku berkarir dengan caraku sendiri. Aku lebih menyukai berjalan perlahan namun pasti. Walaupun lelah karena harus selalu bermacet ria setiap selesai kuliah, aku memotivasi diri untuk tidak menyerah. Aku sudah meninggalkan diriku yang dulu, si Freya yang manja dan tidak bisa apa-apa. Kini, aku ingin membuktikan kepada orang-orang yang terus meledekku karena ketidakmampuanku. Aku yang sekarang adalah Freya yang berusaha mati-matian agar tidak diremehkan orang lain. Aku bukan orang kaya, maka yang dapat aku lakukan untuk eksis adalah dengan menggunakan otakku dengan sebaik-baiknya. Harta yang dapat diwariskan orang tuaku adalah ilmu dan pendidikan.
Leo adalah teman sekelasku di jurusan akuntansi. Aku ingat pertemuan pertama kami adalah saat ia di marahi oleh senior karena salah membawa peralatan pada masa pengarahan mahasiswa baru. Ia membawa plastik bening, padahal kakak-kakak senior sudah mewanti-wanti untuk membawa yang berwarna merah solid. Oh, saat itu Leo masih berambut cepak pendek dan hanya bisa cengegesan. Kesan pertamaku padanya adalah bahwa Leo adalah cowok bandel. Semuanya bertambah aneh saat ia mengajakku untuk menjadi sekelompok berdua dalam permainan kebersamaan di akhir masa penyiksaan para mahasiswa baru tersebut. Tangan besarnya sempat menggenggam si tangan kanan kurus milikku, walaupun kejadian tersebut memang hanya berlangsung lima detik. Tanpa pikir panjang, aku pun langsung mengkategorikannya sebagai lima menit paling menyenangkan seumur-umur.
Si bandel ini semakin hari semakin menarik. Leo selalu memakai kaos berwarna gelap. Entah itu warna hitam, biru tua, hijau tua, abu-abu tua, semua yang serba tua. Banyak penelitian yang bilang orang yang memakai warna-warna gelap itu sedang sedih, bukan? Pernyataan tersebut sama sekali tidak terlihat pada Leo. Ia dengan celetukan-celetukan konyolnya selalu berhasil membuatku tertawa. Leo selalu menceriakan hariku setiap kali aku merasa suasana hati sedang menyebalkan. Pemikirannya yang sebetulnya dewasa juga mebuatku makin terkagum-kagum. Tanpa butuh usaha yang terlalu banyak, aku semakin larut dan jatuh pada semua hal yang ada pada dirinya.
Semua berubah ketika ia melihat sosok temanku. Saat itu, aku menyapa Rena yang dari kejauhan membawa buku-buku tebal dengan tulisan-tulisan berukuran kecil yang bisa bikin sakit kepala. Tak lupa juga, catatan-catatan kecil yang berisikan materi kuliah kedokteran miliknya selalu ditenteng di tangan kiri. Rambut panjang bergelombang menambah pesona keanggunan cewek mungil tersebut. Gigi-gigi menggemaskannya selalu muncul setiap ia tersenyum. Aku yakin, sepasang mata teduh yang tidak pernah hilang darinya membuat setiap orang merasa nyaman berbicara dengannya. Sosok yang sama tersebut memang tidak pernah berubah dari kami masih kecil dan bocah. Ia sedari dulu memang sudah menjadi sosok yang disenangi setiap orang. Tak heran, Leo pun menanyakan perihal Rena.
Sepasang mata yang biasanya bandel terlihat tenang dan antusias pada waktu yang bersamaan saat aku berhasil membuatnya berbicara dengan Rena. Ia melonjak kegirangan di dalam kelas saat Rena membalas pesan singkat pertamanya. Aku mengingat dirinya yang perlahan berubah menjadi lebih rapi dan memerhatikan penampilannya setiap kami kelas. Pertemuan rutinnya dengan Rena selalu ia nantikan, walaupun si Rena selalu memberikan respon malu-malu dan ambigu. Biasanya, Leo akan selalu mengajakku setiap bertemu Rena. Biar nggak deg-degan, ujarnya setiap kutanyakan apa gunanya aku ikut dengan kencan-kencan pedekate mereka.
Saat ini, sudah beberapa bulan semenjak pertemuan pertama Leo dan Rena. Keduanya bergandengan tangan saat langit menjadi semakin gelap. Leo mengusap rambut indah Rena yang berantakan karena dimainkan angin berseliweran. Leo, si cowok bandel yang pernah dimarahi senior tersebut, kini menatap mata cewek idaman di hadapannya dengan begitu teduhnya. Ia semakin gemas untuk memainkan rambut Rena karena gigi ginsul Rena yang menambah kecantikan paras Rena yang tersenyum. Aku pun kagum akan aura cantik Rena yang semakin timbul seiring dengan bertambahnya kami dewasa. Leo mendekap erat Rena yang sudah menjadi miliknya hari ini. Dalam percakapan denganku kemarin, Leo bersumpah untuk menjaga baik-baik hati Rena dan tidak akan menyia-nyiakan cewek sebaik ini. Ia terlihat khawatir akan ditolak Rena. Tak ada lagi yang bisa kulakukan selain memberikan senyum palsu dan menyemangati Leo. Aku ingin sekali melihatnya senang dan tambah percaya diri.
Kini , sepasang kekasih tersebut sudah selesai melihat langit sore di restoran tersebut. Mereka pun mulai membereskan tas dan pamit kepadaku yang masih harus bekerja sebagai waiter restoran makanan barat tersebut. Rena memelukku erat dan mengucapkan terima kasih atas jasaku sebagai biro jodoh berjalan. Ia berkata bahwa hari ini adalah hari ia membuka hati untuk kesempatan yang baru, dan ini semua berkatku. Aku adalah sahabat Rena sejak jaman kami masih kecil dan aku tahu betul ia bukan orang yang senang bermain-main dengan hati orang lain. Rena adalah orang yang serius dan sempurna.
Senyum palsu masih ku sunggingkan saat Leo mengajakku bertos dan izin untuk mengantar pacar barunya pulang. Pandanganku sedikit buram saat keduanya betul-betul keluar dan masuk mobil, Leo pasti akan mengantarnya pulang dan bertemu kedua orang tua Rena. Dari kejauhan, aku dapat melihat mobil merah berukuran sedang Leo pergi meninggalkan daun-daun yang berseliweran. Mobil tersebut juga meninggalkan kenangan-kenangan yang berkecamuk dalam pikiranku. Aku beranjak dan segera menghampiri pelanggan-pelanggan tetap restoran yang sudah hits di kalangan anak muda ini. Banyak pekerjaan yang masih harus kulakukan, dan aku butuh konsentrasi untuk melaksanakannya. Freya, berhentilah memimpikan orang yang tidak akan pernah tahu keekstriman mimpimu.
Comments
Post a Comment