Skip to main content

Ai

Aku tahu ia selalu mampu membawa tawa, cukup dengan beberapa kedipan mata centilnya. Ampuh. Teman-teman kantorku selalu mencubit pipinya lembut setiap aku membawanya turut serta, bibir mereka tak pernah absen untuk menyunggingkan senyum lebar saat mereka bersama dengannya.
 
Aika, gadis mungil dan cantik kesayanganku dan Thio yang sudah empat tahun terakhir ini resmi keluar dari rahimku dan menjadi buah hati kami.. Sosoknya yang periang dan identik dengan tubuh langsing, rambut bob sebahu dan poni ratanya itu menjadi favorit keluarga besar untuk diajak foto bersama pada acara kumpul-kumpul. Celotehennya yang unik bin ajaib juga selalu kami nanti-nantikan. Bayangkan, Aika dapat tiba-tiba menggombal bagaikan anak baru gede jaman sekarang yang romantis namun lucu. Bagaimana kami bisa tidak sayang dengannya?
 
"Tisha..." suara berat Thio memecahkanku dari pikiran sendiri yang entah sudah berlangsung selama berapa lama.. Tangan kekarnya menggenggam erat tanganku yang tentu berukuran jauh lebih kecil darinya. "Yuk.."
 
Bau rumah sakit yang sangat kubenci itu kembali merasuki benakku. Aku tidak suka melihat para perawat berseragam putih yang berjalan mondar-mandir di hadapanku, apalagi sembari mendorong ranjang-ranjang yang ditiduri pasien-pasien yang nampak terlelap dengan damainya. Tidak, pemandangan ini sungguh membuatku merasa mual dan sakit kepala.. Thio mengikuti arahan petunjuk seorang perawat wanita yang nampaknya berusia paruh baya menuju suatu ruangan tempat Aika dirawat selama seminggu ini, tangannya tak mau melepaskan genggamannya padaku.. Pria yang berpostur lebih tinggi dariku tersebut kemudian merangkulku erat seolah jaringan peredaran darah kami berdua memang menjadi satu.
 
"Selamat sore Bu Tisha dan Pak Thio.." Dokter berkacamata bertubuh gemuk yang telah rutin kami temui menyambut kami ramah, tak lupa pula ia mengajak kami berjabat tangan. "Silahkan duduk.."
 
Thio pun mengarahkanku untuk duduk di meja klien ruang praktek yang didominasi warna putih susu tersebut sebelum ia juga ikut duduk disebelahku. "Pagi, Dokter Purnawan.."
 
Dokter Purnawan membetulkan kacamatanya yang menurun dan membuka sebuah map biru muda yang sudah ia siapkan di meja. "Bagaimana kabarnya, senang bertemu dengan Bapak dan Ibu lagi.."
 
"Baik, Dok.." Ujar Thio sembari melirik diriku, yang juga mencuri-curi pandang ke arahnya. Aku dapat merasakan tangan Thio yang juga sedikit dingin dan gemetar pada saat ia melirik laporan di map dokter senior yang berpengalaman dihadapannya."B-bagaimana hasil laboratorium dari putri kami, Dok?"
 
"Ah, Aika.. Kami memang telah selesai menerima laporan dari laboratorium.." Ujar Dokter Purnawan sembari menarik napas panjang. Perasaanku mulai tidak enak..
 
Deg.
 
"Putri Bapak dan Ibu telah mengalami gejala kejang-kejang sebelumnya, dan kami memang menemukan hambatan dalam syaraf-syaraf di otaknya.."
 
Apakah mimpi burukku selama ini kini menjadi nyata...
 
"Aika mengalami epilepsy."
 
Napasku menjadi berat. Thio terdiam, dan aku juga berusaha mencerna semua perkataan Dokter Purnawan tersebut dengan perlahan.. Pikiranku mulai kemana-mana.
 
Dokter Purnawan nampaknya dapat membaca situasi dan berusaha menenangkan kami. "Namun Bapak dan Ibu jangan terlalu khawatir, tentunya kami akan melakukan penanganan yang terbaik. Apalagi Aika masih kecil, kemungkinannya untuk bisa sembuh masih besar.."
 
"Tolong lakukan yang terbaik untuk Aika, Dok.." Thio akhirnya bersuara lirih, bisikannya penuh dengan rasa khawatir.  Ia mengusap rambut sebahuku lembut. "Kami percaya pada Anda.."
 
Dokter Purnawan sempat menyampaikan beberapa pesan dan wejangan pada kami, namun aku tidak dapat menyimaknya lagi. Aku tahu betul Thio terus mengangguk dan berkata 'baik, Dok', dan Dokter Purnawan pun terus meberikan kata-kata yang menyemangati kami berdua..
 
"Terus ikuti proses, ya, Pak Thio dan Bu Tisha..." Ungkap Dokter Purnawan sebelum kami beranjak meninggalkan ruangan. "Saya perlu kepercayaan dan pengharapan Anda.. Terus berdoa, dan jangan patah semangat.."
 
Aku dan Thio bertatap-tatapan saat kami sampai di ruang perawatan Aika. Si gadis mungil bermata besar yang tidak tahu apa-apa tersebut tersenyum lebar saat melihat kami berdua menghampirinya. Ia berusaha bangun dan masuk ke pelukanku, namun Thio mencegahnya dan menyuruhnya untuk tetap berbaring di tempat tidur. "Aika sayang jangan banyak gerak dulu, ya.. Papa mau kamu banyak istirahat.."
 
"Yah, kok gitu sih, Pa.." Rengek Aika memprotes. "Aika bosen, Pa, tiduran terus.."
 
Aku mulai bisa tersenyum mendengar suara cempreng yang kurindukan tersebut. Ah, Aika..
 
"Mama kok diem aja, sih? Ma, tadi Aika kenalin Whitee ke suster yang tadi temenin Aika.." Celotehnya riang tanpa jeda napas, dengan bangga ia mengeluarkan boneka beruang putih berbulu pendeknya dari persembunyian di balik selimut. Aika tertawa riang. "Kata susternya, Whitee imut."
 
"Ya imutlah, kan ketularan imutnya Aika" ujarku sembari mengubah posisi dudukku menjadi lebih dekat dengan Aika dan memainkan rambut halusnya seperti biasa. "Kalau Aikanya nggak imut, mungkin Whitee-nya juga nggak imut, tuh.."
 
Aika tertawa riang sembari berusaha bangun dari posisi tidurnya untuk memelukku. Aku menahannya lembut, dan mengembalikannya ke posisi berbaring. "Jangan bangun-bangun dulu, nanti Papa sedih, lho.."
 
Thio ikut duduk disisi lain sebelah Aika, dan menatapnya dengan mata teduh penuh arti. Aku ingat betul bahwa tatapan  Thio yang sama-lah yang berhasil membuatku luluh dan jatuh hati kepadanya. Thio mengambil Whitee dari genggaman  Aika dan meletakkannya di dekat kepala putrinya tersebut. "Sabar ya, Aika.. Papa dan Mama bakal terus temenin Aika sampai Aika keluar dari rumah sakit.."
 
"Oke, Papa!" Aika mengeluarkan tangan mungil dan rapuhnya sembari mengaitkan jempol dan telunjuknya dengan tidak rapat. Aku tertawa karena gemas akan tingkahnya, sudah lama aku tidak tertawa lepas seperti ini.
 
Sembari terus mendengarkan Aika berceloteh soal petualangannya dan Whitee di sebuah hutan penuh pohon stroberi, aku mencuri-curi pandang dengan Thio yang seperti biasa berhasil menghibur Aika yang tadinya sempat mengeluh pusing dengan lawakan-lawakan tidak lucu andalannya. Di masa-masa yang berat dan menjadi pikiran ini, aku bisa memiliki tangan yang selalu mendekap dan tidak malu untuk menggandengku. Pada saat-saat yang tidak menyenangkan ini, aku mempunyai cerita-cerita imajinatif tak berbatas yang dinarasikan secara tidak kronologis.. Ketika aku sedih, ingatlah akan 'ai', cinta tak ternilai yang muncul saat aku dan Thio hendak memberi nama pada buah hati yang sudah terbentuk baik adanya dan sempurna di rahimku. 'Ai' yang sama akan menyanggupkan menghadapi apapun itu yang akan kuhadapi nantinya.
 
Aku siap.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Comments

Popular posts from this blog

Belajar banyak di konferensi Psikologi ARUPS, Bali

Halo teman-teman, Kali ini aku menggebu-gebu sekali untuk menceritakan pengalamanku di Bali. Sungguh, sampai detik ini aku masih merasa bahagia dan bangga akan acara yang telah aku ikuti pada 21-22 Februari 2018 waktu itu! Jadi, awal mulanya seperti ini... Once upon a time , pada 2016 akhir, seorang dosen di kampusku menawarkan aku dan temanku (Desta) untuk ikut berkontribusi dalam penelitian beliau. Oh ya, untuk kalian yang belum tahu, aku sedang mengambil jurusan psikologi di Universitas Tarumanagara, ya. Aku sempat takut sih, karena belum pernah mengerjakan proyek seperti ini. Waktu itu, aku betul-betul khawatir karena pengalamanku dalam penelitian betul-betul nol besar. Namun, dosenku, Pak P. Tommy Y. S. Suyasa (beliau akrab dengan panggilan Pak Tommy), berbaik hati dan bersedia membimbing dari awal, beliau pun sabar menjelaskan pada kami apabila ada hal-hal yang masih kami belum pahami. Oh ya, kami belajar banyak dari dosen kami ini; hal-hal aka...

'Stranded' in The Netherlands

Hoi allemaal! Hoe gaat het met jou? Getting through something new or being that 'new thing' itself is never easy. How eyes look at us as something different might be hard to be unnoticed, and how people treat us differently, might as well be difficult. The Netherlands, well known as the land of the tulips, is something very far far away from my mind. I lived in Indonesia as a little toddler, all I thought was playing, sleeping, screaming, singing and dancing. Having the chance to live and study there, never ever crossed my mind before. Destiny cannot be denied. One day, my dad was asked to live there for a couple of years. First, it was very hard having a long distance father-and-daughter relationship. We went chatting through video chat, and I, as his little girl, always talked to him everything I thought of. We usually have the night prayer together through the video chat, and it was very rough that times. Years flied away; and afterwards, my dad invi...

Dear, Me (and You)

          Pernahkah kamu mengecewakan dirimu sendiri, sahabat? Perasaan benci dan ketidakberanian yang begitu mengurungmu dalam sebuah sangkar baja, tidak memberimu kebebasan sejati.  Tidak, bukan saja merampas kebebasan, tetapi mereka jugalah yang menghentikan laju langkahmu. Keduanya membuatmu berjalan di tempat, berhenti, atau bahkan lebih parahnya lagi; berjalan ke belakang.  Sebetulnya, kamu juga harus menganalisa sebab dari penyiksaan diri tersebut. Sebuah ‘ekskresi’ yang harus dikeluarkan tanpa perlu diraih kembali. Bagaikan sang pangeran katak yang menanti kecupan sang putri, pegharapan yang terlalu tinggi bisa saja mencukai hatimu. Kemungkinan sebuah harapan hanyalah dua, entah itu akan membuat pipimu bersemu, ataulah ia akan memilukan hati cantikmu.  Jadi, kita tidak perlu melakukan yang terbaik? Bukan, aku tidak berkata demikian. Kenalilah potensi dan segala pesonamu. Menurutku, tida...